Pemahaman yang keliru kini justru marak, dan secara tidak terasa telah mendarah daging, misalnya seorang-orang mengartikan modernitas. Kini makna modernitas telah dijadikan jargon untuk mengganti sesuatu yang dianggap "lama", maka modernitas cenderung dipakai untuk menggilas apa saja yang dianggap lama. Tradisi yang tumbuh di masa lalu, termasuk nilai-nilai budaya yang telah lama ada, tanpa ampun tergilas oleh kesalahan memaknai nilai modernitas. Kekeliruan pemaknaan itu sekaligus memberikan stigma negatif kepada siapa saja yang tetap mempertahankan nilai tradisi dan budaya. Indikasi fisik telah menunjukkan kepada kita, bahwa bentuk bangunan rumah yang ada di Jawa, juga terinfeksi oleh pemaknaan itu. Kini bentuk bangunan rumah Jawa sulit diketemukan, apakah bentuk Joglo, atau pun limas, telah terlibas. Dulu di daerah pedesaan, jenis rumah Jawa seperti Joglo, dan limasan, masih bertebaran, kini yang kita jumpai justru berbalik. Rumah dengan model/ornamen bergaya Spanyol, Amerika, atau Eropa, sangat mewarna, dan orang merasa sangat ketinggalan, atau mungkin disebut kurang gaul, jika mempertahankan bentuk rumah yang mentradisi.
Perilaku orangpun juga berubah secara dratis, kini orang telah meninggalkan tardisinya, dan kini juga kehilangan karakternya. Tradisi adat Jawa-seperti selapan, atau tedhak siten pada upacara kelahiran, siraman atau midodareni pada upacara perkawinan, atau pendhak sepisan, nyewu pada upacara kematian--sudah mulai banyak ditinggalkan atau dilupakan.
Seorang-orang bernama H. Soemarno Soedarsono dalam sebuah kolom opini Harian Kompas yang berjudul Jati diri Bangsa yang menyoroti konsep jati diri dari perspektif etika moral, yaitu hati nurani. Soedarsono menulis kata-kata bijak untuk menekankan tentang bahaya hilangnya jati diri ini. "When character is lost, everything is lost".
Kata bijak ini ternyata merupakan energi bagi tiga orang wanita yang membidani lahirnya buku ini. Masing-masing; Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini MBA,- Ir.M.I. Retno Susilorini, MT- dan Yovita Indrayati, SH.,M.Hum. Ketiganya adalah pengabdi pada Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Keprihatinannya melihat realitas bias dalam budaya bangsa, menggetarkan naluri tulis menulis, maka melalui pencermatannya dengan merefleksikanbudaya Jawa-meneropong retak-ratak buadaya. Dengan cermat, ketiga wanita ini menengarai, bahwa budaya Jawa mulai ditinggalkan. Keprihatinan ini nampaknya cukup beralasan, karena indikasinya nampak jelas.
Indikasi itu adalah:
- Gadis Jawa sudah tidak lagi "gandhes luwes" [lemah gemulai], orang Jawa yang halus budi bahasanya sudah menjadi "brangasan", orang Jawa yang dikenal suka menolong sudah mulai "egois" dengan kehidupan pribadinya
- Memperingati usia dalam satuan windu [delapan tahun], kini sudah tidak terdengar lagi. Peristiwa ini dulu dinamakan "windon", dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur warna merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 telur ayam rebus sebagai lambang usia. Peringatan ini harus dilakukan sehari atau dua hari setelah hari kelahiran yang diyakini agar usia lebih panjang. Pada saat dua windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka/jaka, suaranya ngagor-agori [memberat]. Perayaan saat 32 tahun atau empat windu dinamakan "tumbuk alit". Dan ketika ulang tahun ke 64 tahun disebut "tumbuk ageng". Kini semuanya telah hilang, jika tidak dikatakan punah
Data buku:
JUDUL: Cermin Retak Budaya Bangsa--Sebuah refleksi dengan pendekatan budaya jawa
PENULIS: Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini = Ir. M.I. Retno Susilorini, MT. = Yovita Indrayati, SH., M.Hum
PENERBIT: Universitas Atma jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari No. 44. Kotakl Pos 1086. Telp. 0274-487711. Yogyakarta 55281
ISBN: 979-9243-79-3
CETAKAN: Pertama 2007
No comments:
Post a Comment