Tuesday, December 23, 2008

ILMU KEARIFAN JAWA :"AJARAN ADILUHUNG LELUHUR"-PITOYO AMRIH"

Buku ini mendiskripsikan ajaran kearifan Jawa, yang di mutakhirkan sehingga bercita-rasa kekinian. Buku ini sekaligus menjawab peroslan-persoalan manusia dengan kembali menjalani ajaran falsafah para leluhur yang adiluhung.
Akhir-khir ini realitas alam yang kerap tampil di bumi, sekaligus yang merasuk dalam kehidupan rupanya telah banyak membawa petaka bagi manusia. Petaka itu terjadi dikarenakan ulah manusia yang sudah tidak lagi mengindahkan dirinya sebagai insan yang hidup dalam lingkup sinergi, yang sinergi dengan lingkungannya [sesama sekaligus dengan alamnya]. Untuk itu perlu kiranya manusia merenungkan ulang dengan "lembah manah", sekaligus memutar ulang warisan leluhur seperti "menguri-uri" berbagai tinggalan budaya yang adiluhung. Manifestasi "menguru-uri" itu, antara lain adalah memahami secara jernih ajaran para leluhur untuk saling menyapa, menghormati, menghargai di dalam menjaga jagad ini.
Kearifan-kearifan Jawa merupakan hal penting yang telah diwariskan para leluhur, serta meripakan bentuk kesadaran lama untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan manusia. Buku ini mengulas kearifan leluhur Jawa dalam melihat dimensi signal dari tanda-tanda alam. Kita semua tentunya sangat paham dan menghargai bahwa kearifan Jawa ini yang seringkali membuka kesadaran nurani manusia. Dan melalui cara menggugah alam sadarnya, maka peribahan perilaku luhur iti dapat tergapai.
Seperti kearifan dari makna "Kali Ilang Kedunge", yang juga dapat diartikan sebuah pertanda akan sebuah perubahan. Barngkali orang-orang dahulu belum begitu paham apa itu pendangkalan sungai. Sesungguhnya Kali Ilang Kedunge itu, secara harfiah dapat diartikan sebagai sebuah proses pendangkalan sungai. Bagi orang dahulu, mungkin belum merasa negitu penting untuk mengetahui kedalaman sebuah aliran sungai. Kini selang beberapa tahun mungkin abad terbukti, bahwa kearifan yang berupa "Sanepo" memberi bukti, yang sangat siginikan. Banjir tak terelakkan, penyempitan sungai karena ulah manusia, bahkan bozem yang berupa kedung, atau danau telah rata tanah.
Becik Ketitik, Ala Ketara, adalah sebuah terminologi yang menarik, biasanya digunkan secara ilmiah sebagai referensi para ahli forensik dalam menelisik sebuah kejahatan."There is no perfect crime" bunyi istilah itu. sebuah ungkpan yang menjadi dasar setiap penyelidik sebuah kejahatan. Serapi apa pun kejahatan dikreasi, dan sekecil apa pun disembunyikan, akhirnya terbongkar juga. Karena manusia itu secara filosofi, tempat berhimpunnya kesalahan. Kali Ilang kedunge, dan Becik Ketitik, ALa Ketara adalah kearifan, dari sekian banyak kearifan yang dibahas buku ini.
Data Buku
JUDUL: Ilmu Kearifan Jawa
PENULIS: Pitoyo Amrih
PENERBIT: Pinus Book Publisher. Jl, Tegala Melati No. 118 C Jongkang [Belakang [Monjali] Sleman Yogyakarta 55581. Telp, 0274 867646. E-mail:n rumahpinus@yahoo.com
CETAKAN: I- Nopember 2008
TEBAL: 179, 140 x 210 mm
ISBN: 978-979-18676-0-3

Wednesday, November 26, 2008

THE 7 HABITS OF HIGHLY EFFECTIVE PEOPLE VERSI SEMAR & PANDAWA

Sebuah refleksi yang melihat dari dimensi "Semar & Pandawa", untuk menggrekan manusia dalam tujuan-tujuan yang efektif, dan efisien. Melalui cerminan tokoh Semar dan Pandawa orang dapat digerakkan kepada sebuah idealisasi pencapian tujuan, tanpa merasa tertekan. Karena melalui tokoh-tokoh itu secara tidak langsung akan terbangun sebuah etos yang diliputi oleh citarasa kearifan.
Data buku
JUDUL: The 7 Habits og Highly Effective People Versi Semar dan Pandawa
PENULIS: Pitoyo Amrih
PENERBIT: Pinus Book Publisher. Jl. Tegal Melati No.118 C Jongkang [Belakang Monjali] Sleman, Yogyakarta 55581. Telp. Redaksi [0274] 867646. E-mail: rumahpinus@yahoo.com
ISBN: 979-99014-9-9
CETAKAN: I-Januari 2008
TEBAL: 140 x 120 mm, 227 hlm
Web-PENULIS: http://duniawayang.pitoyo.com/

CERMIN RETAK BUDAYA BANGSA--REFLEKSI VIA PENDEKATAN BUDAYA JAWA


Pemahaman yang keliru kini justru marak, dan secara tidak terasa telah mendarah daging, misalnya seorang-orang mengartikan modernitas. Kini makna modernitas telah dijadikan jargon untuk mengganti sesuatu yang dianggap "lama", maka modernitas cenderung dipakai untuk menggilas apa saja yang dianggap lama. Tradisi yang tumbuh di masa lalu, termasuk nilai-nilai budaya yang telah lama ada, tanpa ampun tergilas oleh kesalahan memaknai nilai modernitas. Kekeliruan pemaknaan itu sekaligus memberikan stigma negatif kepada siapa saja yang tetap mempertahankan nilai tradisi dan budaya. Indikasi fisik telah menunjukkan kepada kita, bahwa bentuk bangunan rumah yang ada di Jawa, juga terinfeksi oleh pemaknaan itu. Kini bentuk bangunan rumah Jawa sulit diketemukan, apakah bentuk Joglo, atau pun limas, telah terlibas. Dulu di daerah pedesaan, jenis rumah Jawa seperti Joglo, dan limasan, masih bertebaran, kini yang kita jumpai justru berbalik. Rumah dengan model/ornamen bergaya Spanyol, Amerika, atau Eropa, sangat mewarna, dan orang merasa sangat ketinggalan, atau mungkin disebut kurang gaul, jika mempertahankan bentuk rumah yang mentradisi.


Perilaku orangpun juga berubah secara dratis, kini orang telah meninggalkan tardisinya, dan kini juga kehilangan karakternya. Tradisi adat Jawa-seperti selapan, atau tedhak siten pada upacara kelahiran, siraman atau midodareni pada upacara perkawinan, atau pendhak sepisan, nyewu pada upacara kematian--sudah mulai banyak ditinggalkan atau dilupakan.


Seorang-orang bernama H. Soemarno Soedarsono dalam sebuah kolom opini Harian Kompas yang berjudul Jati diri Bangsa yang menyoroti konsep jati diri dari perspektif etika moral, yaitu hati nurani. Soedarsono menulis kata-kata bijak untuk menekankan tentang bahaya hilangnya jati diri ini. "When character is lost, everything is lost".

Kata bijak ini ternyata merupakan energi bagi tiga orang wanita yang membidani lahirnya buku ini. Masing-masing; Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini MBA,- Ir.M.I. Retno Susilorini, MT- dan Yovita Indrayati, SH.,M.Hum. Ketiganya adalah pengabdi pada Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Keprihatinannya melihat realitas bias dalam budaya bangsa, menggetarkan naluri tulis menulis, maka melalui pencermatannya dengan merefleksikanbudaya Jawa-meneropong retak-ratak buadaya. Dengan cermat, ketiga wanita ini menengarai, bahwa budaya Jawa mulai ditinggalkan. Keprihatinan ini nampaknya cukup beralasan, karena indikasinya nampak jelas.

Indikasi itu adalah:

  • Gadis Jawa sudah tidak lagi "gandhes luwes" [lemah gemulai], orang Jawa yang halus budi bahasanya sudah menjadi "brangasan", orang Jawa yang dikenal suka menolong sudah mulai "egois" dengan kehidupan pribadinya
  • Memperingati usia dalam satuan windu [delapan tahun], kini sudah tidak terdengar lagi. Peristiwa ini dulu dinamakan "windon", dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur warna merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 telur ayam rebus sebagai lambang usia. Peringatan ini harus dilakukan sehari atau dua hari setelah hari kelahiran yang diyakini agar usia lebih panjang. Pada saat dua windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka/jaka, suaranya ngagor-agori [memberat]. Perayaan saat 32 tahun atau empat windu dinamakan "tumbuk alit". Dan ketika ulang tahun ke 64 tahun disebut "tumbuk ageng". Kini semuanya telah hilang, jika tidak dikatakan punah

Data buku:

JUDUL: Cermin Retak Budaya Bangsa--Sebuah refleksi dengan pendekatan budaya jawa

PENULIS: Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini = Ir. M.I. Retno Susilorini, MT. = Yovita Indrayati, SH., M.Hum

PENERBIT: Universitas Atma jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari No. 44. Kotakl Pos 1086. Telp. 0274-487711. Yogyakarta 55281

ISBN: 979-9243-79-3

CETAKAN: Pertama 2007


Thursday, November 20, 2008

TRADISI RUWATAN

Tradisi ruwatan itu sesungguhnya sudah lama ada di Jawa, hingga saat ini masih kerap dilakukan bahkan sudah mendarah daging. Setiap problematika kehidupan yang muncul dan membutuhkan solusi, ruwatan selalu dirujuk untuk mengatasi. Buku ini mendokumentasikan apa dan mengapa ruwatan itu, yang jelas buku ini ikut "nguri-uri" khasanah budaya Jawa.
Semacam garis tangan saja, bahwa selama ini hanya buku yang masih mampu menjaga kelestarian apa budaya, dan kali ini ingin diwujudkan oleh Ragil Pamungkas, melalui penerbit Narasi.
Dalam buku ini mengurai mulai latar belakang, tujuan dan "ubo-rampe" -- sarana-sarana yang dibutuhkan. Kuatnya daya magis dan mistisnya sangat lekat, juga didukung dengan mitos-mitos, sehingga seakan menghadirkan "energi maya" yang sangat potensial menguatkan motivasi dan keyakinan setiap orang yang melakukan ritual ruwatan ini. Para Dewata, atau Bethara, dalam ritual ini diperankan sebagai energi yang mampu mengurai segenap problema, atau masalah-masalah yang menghadirkan aral, atau pun sial.
Melalui kalkulasi hitungan "pasaran" dijadikanlah sebagai alat menerawang pilihan-pilihan simbolisasi sebagai motivasi ritual, berikut sarat-sarat yang akan diadaptasikan.
Kendati banyak orang yang enggan meninggalkan tradisi ini, namun jika tidak diberangi dengan kemauan pelestarian, kemungkinan akan membuat bias pelaksanaan, atau menyimpang jauh dari tradisi aslinya.
Data buku
JUDUL: Tradisi Ruwatan- Misteri Di Balik Ruwatan
PENULIS: Ragil Pamungkas
PENERBIT: NArasi Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto II Yogyakarta 55292. Telp.0274-7103084
ISBN[13]:978-979-168-107-0
ISBN[10]:979-168-107-4
CETAKAN: Pertama 2008
TEBAL: vii-99 hlm

Tuesday, November 11, 2008

BUDI PEKERTI LUHUR


Kehadiran pembelajaran Budi Pekerti Luhur saat ini sangat dinanti, kemajuan berbagai dimensi kemajuan teknologi, seakan membelah dunia dengan cepat dan sarwa mudah. Dampaknya tentunya lebih dahsyat, yakni banyak orang kehilangan jatidirinya. [buku mengistilahkan wong Jawa ilang jawane]. Pengaruh ini merasuk dengan halus, kedalam pola pikir pola laku dan pola tindak anak manusia. Percepatanya sulit diukur, namun akibatnya langsung bisa dilihat.
Berbuat dosa sudah tidak tabu, korupsi justru menjadi kebanggaan, bahkan orang lebih memilih menjadi pecundang ketimbang jadi pahlawan. Buku ini mengkritisi, dan tidak hanya mengkritisi tapi sekalian memberikan solusi.
Sebenarnya untuk mengatasi hal ini bukan persoalan yang sulit, jika seorang-orang mampu menguri-uri budaya Jawa, [me-maintenance] atau merawat.
Hanya budaya yang mampu menjadi obat penawar yang "ces-pleng" dengan tingkat kemanjuran yang signifikan.
Buku ini merupakan "bekti" dari seorang-orang yang telah melakukan perenungan dan refleksi pemikiran selama kurang lebih 40 tahun, dan hasilnya akan dijadikan sebagai solusi.
Data Buku:
JUDUL: Budi Pekerti Luhur--Satu Dasar Meraih Kebahagiaan Hidup Sesudah Mati
PENULIS: TjarokoHP Teguh Pranoto
PENERBIT: Kuntul Press Gombang [Depan Puskesmas], Tirtoadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
HP. 08175423046
ISBN: 978-979-16502-36
CETAKAN: I, 2009
TEBAL: 148 hm, 14 x 20 cm

SARING-Sadapan Ringkas
Menurut buku ini dasar-dasar piwulang budi pekerti luhur itu antara lain:

  1. Aja dumeh, eling lan waspada, ini adalah hal yang paling mendasar dalam mengarungi lautan kehidupan agar senantiasa selamat, sehingga dapat sampai ke pantai harapan dengan baik, benar dan selamat sejahtera atau rahayu.
  2. Aja adigang, adigung, adiguna artinya adalah jangan membanggakan diri sendiri akan kemampuannya atau hal yang dimilikinya. alam cerita silat selalu dikatakan bahwa di atas langit mash ada langit, maksudnya adalah agar kita selalu bercermin diri, bahwa selalu saja ada yang melebihi kita karena manusia itu pada dasarnya memiliki keterbatasan
  3. Aja aji mumpung sing oa apik, Aji mumpung ada dua yaitu aji mumpung dalam arti posistif dan aji mupung dalam arti negatif. Aji mumpung negatif adalah memanfaatkan kedudukan atau peran untuk kepentingan negatif, atau kepentingan individu. Aji mumpung posistif, adalah pola sikap yang bagus, adil bijaksana, dan dlakukan dalam dirinya ketika mendapatkan kepercayaan
  4. Ambek angara murka, makna dari ungkapan ini adalah mengendalikan sifat nafsu angkara murka
  5. Ajining diri gumantung ana ing lathi, artinya bahwa harga diri kita itu sangat dipengaruhi dari dari ucapan kita. Menjaga pembicaraan kita agar pada rel yang benar.
  6. Abot lan enteng saka pangawene dewe. Bahwa berat ringanya kehidupan diri kita sangat diengaruhi oleh apa yang kita perbuat
  7. Becik ketitik ala ketara, kemanapun orang itu bersembunyi, jika dalam berperilaku mengedepankan kebaikkan atau sebaliknya orang lain akan mengetahui
  8. Desa mawa tata negara mawa cara, karena setiap keadaan memiliki kuantitas dan kualitas yang unik, maka manusia dalam berperilaku harus memilki daya adaptasi yang tinggi. Tepa selira atau bisa rumangsa
  9. .......masih banyak lagi maaf tidak dikupas tuntas...


Monday, November 10, 2008

MAKLUMAT BAHAGIA [Kaweruh Begja]: Ki Ageng Suryamentaram

Kaweruh begja, untuk memahami makna terdalam dari kebahagiaan orang tidak serta merta langsung paham apalagi "ces-pleng", semuanya melalui tahapan-tahapan istimewa. Tahapan ini pernah ditilik oleh seorang-orang yang piawai, dan kemudian hasil tilikan itu di wujudkan dalam tulisan, sebagian dari tilikan itu saat ini berwujud buku, yang dieberi judul"Kawruh Begja", orang juga sering menyebut, bahwa menggapai "Kawruh Begja" itu harus dilatari dengan perenungan-perenungan. Banyak pula yang mengatakan harus acapkali melakukan refleksi. Saat ini kita sedang menikmati hasil refleksi Ki Ageng Suryamentaram. Sebuah buku yang memposisikan dirinya sebagai bacaan penenang jiwa, warisan budaya leluhur.
SIAPA KI AGENG SURYAMENTARAM ITU?
Ketika usia remaja bernama Bendara Pangeran Harya Suryamentaram, dan memiliki kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat,ilmu jiwa dan Agama. Penguasaan bahasanya cukup lumayan, Belanda, Inggris dan Bahasa Arab. Konon juga pernah belajar mengaji pada KH. qchmad Dahlan pendiri oraganisasi Muhammadiyah.
Berdarah biru, dan akhirnya memutuskan untuk hidup diluar keraton, yang akhirnya menemukan jatidirinya.

Pengembaraan Batin
Sebuah laku, mengantarkan sang pangeran ini mengapai beberapa pengetahuan dari hasil refleksi pikiran. Dari refleksi ini pikiran pangeran Suryamentaran diarahkan secara tuntas pada pemahaman sebuah kebahagiaan sejati, namun untuk memahakan itu, menurutnya ada sebuah "getaran hasrat dalam arti luas ", yang disebut dengan "karep". Untuk sampai pada sebuah pemahaman kebahagiaan itu, seorang-orang harus menangkap dahulu makna getaran hasrat yang disebut karep.
Sejak awal buku ini telah memperingatkan khalayak bacanya untuk tidak langsung menerima buah pikir ini secara absolut, namun lebih diharapkan untuk melakukan penggalian lebih lanjut, apa makna yang tersembunyi dari getaran hasrat yang disebut "karep itu"? kemudian baru lengkah pada tataran tentang kebahagiaan Abadi
Data buku
JUDUL: Maklumat Bahagia--Kawruh Begja--Ilmu menggapai Kebahagian Sejati
PENULIS: KI Ageng Suryameteram
PENERBIT: Gelombang Pasang . Gombang [Depan Puskesmas], Tirtonadi, Mlati Sleman, Yogyakarta. HP. 08175423046
ISBN: 978-979-98385-7-5
CETAKAN : I-2008
TEBAL: 132; 12 x 19 cm
[Catatan: Judu;l Asli Inwijding tot het eenwigdurende geluk, 1930]

SARING-Sadapan Ringkas.

Karep:
Karep adalah sebuah kosakata berasal dari Bahasa Jawa yang beararti "getar hasrat untuk melakukan suatu perbuatan dengan penuh kesadaran dan berdasarkan pertimbangan batin terlebih dahulu". Kata-kata yang serupa dengan kata tersebut adalah kehendak atau menghendaki, niat atau berniat, keinginan atau berkeinginan, rindu atau merindukan sesuatu, cita-cita atau bercita-cita, hasrat atau berhasrat, berhajat, bernafsu pada sesuatu, mengidam-idankan dan sebagainya. Orang Jawa mempunyai sepatah kata saja sebagai pengganti berbagai bentuk tadi yaitu : karep [getar hasrat].
Karep inilah yang menggerakkan [drive] manusia dalam menggapai sesuatu. Kendatipun sebagai penggerak, buku ini membuat terminolog yang lebih khusus, bahwa karep juga memiliki keterbatasan alias ketergantungan, namun juga ada karep yang babas dan tidak tergantung.
Dalam menggapai kebahagiaan karep menjadi sebuah variabel, oleh karenanya jika seorang-orang itu sangat tergantung atau dikontrol oleh karep cenderung memiliki keinginan yang tidak terbatas [unlimited]. Sedangkan orang yang mampu mengontrol /mengendalikan, maka dalam menggapai kebahagian menemukan yang hakiki. Seorang-orang semakin dikendalikan oleh karep, seorang-orang akan bekerja dengan lupa diri dan lupa waktu. Atau jauh dari kebahagiaan.

Takaran Suka dan Duka
Suka dan Duka itu tidak pernah melekat permanen pada manusia, selalu berubah spektrumnya
Suka adalah merupakan akibat atau disebabkan oleh tidak terlaksananya karep [getar hasrat]
Duka adalah merupakan akibat atau disebabkan oleh tidak terlaksananya atau tidak terpuaskannya karep [getar hasrat].
Karep [getar hasrat] ada berdaarkan sifat kerjanya sendiri, yaitu : mengerut[menyusut] dan memulurkan [mengembang atau bertambah panjang].
Setiap kali karep [getar hasrat] memperoleh kepuasan, mulurlah [memanjang] ia, dan oleh karananya manusia dapat merasakan suka. Kemuluran [memanjangnya] karep [getar hasrat] ini berlaku secara terus menerus, selalu semakin panjang, bertingkat-tingakt, senantiasa demikian asalkan masih dapat memperoleh kepuasan. Setelah karep [getar hasrat] tidak mendapat kepuasan, segera ia mengkerut atau menjadi pendek, dan menyebabkan manusia menjadi duka.
Takdir hidup manusia hanyalah berupa merasakan suka dan duka, bukan hal lain. Sedangkan suka dan duka adalah sama.

Sunday, November 9, 2008

Wayang itu di dalamnya sarat makna, bukan hanya hasil kreasi budaya, namun kandungan filsafati yang tinggi, bahkan mengandung energi optima yang seakan-akan menjadi daya bangkit motivasi yang tinggi. Dari wayang banyak pula pembelajaran, memang sesungguhnya wayang lahir sebagai latar atau stadion yang amat luas untuk melakukan olah pikir sekaligus olah batin. Tokoh-tokoh wayang acapkali diambil sibagai simbul atau jargon-jargon, dan tidak jarang orang dalam berperilaku dituntun seolah-olah sama dang sebangun dengan perwatakan wayang itu sendiri. Tidak ada yang salah, karena dalam wayang tersimpan ratusan model perwatakan manusia.
Ruang gerak, waktu, kuantita, kualita acapkali digambarkan oleh tokoh wayang, dan semuanya tersedia, manusia tinggal mengambil sebagai master untuk patron dalam berperilaku.
Seperti tokoh Semar, bagaikan samudra batin, didalam perwatakannya mengambarkan keluhuran, disamping besarnya sebuah pengorbanan diri [lelabuh], dan kuatnya pengabdian [ sebagai pamong]......
Saat ini Semar akan di bahas singkat terkait dengan jati dirinya, dan dikait dengan filsafat Ketuhanan, yang orang sering memadukan hati sebagai tempat bersemayamnya nur ilahi, akhirnya berbentuk manunggalnya dalam diri, dalam ranah manunggaling kawula lan gusti.
Data Buku
JUDUL : Semar & Filsafat Ketuhanan
PENULIS: Samsunu Yuli Nugroho
PENERBIT: Gelombang Pasang Perum Pertamina S 17 Kalasan Yogyakarta. Telp. 081-7542-3042
ISBN: 979-98385-7-6
CETAKAN: Pertama 2005
TEBAL: 142.
SARING- Sadapan Ringkas.
Buku ini merupaka karya akademik yang diangkat dari skripsi. Tentunya yang tersaji adalah sari patinya, sehingga kesan karya ilmiah tidak terlalu nampak disini.
Semar sebagai tokoh dicandra dari berbagai dimensi, mulai dari penokohan hingga sebagai bahan rujukan dalam berperilaku.
Menurut buku ini, cerita pewayanan berisi ajaran yang dapat digunakan sebagai pegangan serta teladan misalnya tentang Ketuhanan, filsafat moral, kepahlawanan, kenegaraan dan cita-cita hidup. Semar sebagai tokoh dalam pewayang seringkali ditokohkan yang kerap memberikan pembelajaran hidup, kendati seorang "batur" [pembantu], namun pola tindak dan pola lakunya penuh dengan ajaran Ketuhanan dan filsafat moral.
Dari melihat sosok Semar ini manusia diajak merenungkan hidupnya sendiri, seperti "Sangkan paraning dumadi" dan bagaimana menghadapi kehidupan dunia yang sangat singkat.

FIGUR PANAKAWAN
Figur panakawan SEmar didalam dirinya terjandung suatu bentuk konsepsi atau bahasa lambang dan sifat-sifat, nama-nama dan aspek ketuhanan yang terkandung dalam figur tokoh panakawan Semar, maka tokoh Semar dapat dipandang dari beberapa perspektif kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia [jawa].
Pada hakikatnya pengertian "panakawan", berasala dari kata "pana",: cerdas, jelas, terang sekali atau cermat dalam pengamatan. "kawan" : teman. Jadi panakawan bearti teman/pamong yang sangat [pana] cerdik sekali, dapat dipercaya serta mempunayi pandangan yang luas dan pengamatan yang tajam dan cermat. Tegasnya adalah pamong atau orang kepercayaan yang dapat tanggap in sasmita dan limpad pasang ing grahita --[Sri Mulyono, 1989;68]
Adapun tingkah laku dan tindakan lahiriah panakawan berfungsi sebagai:
  1. Penasihat atau cahaya tuntutnan pada waktu staria dalam kesukaran/kebingungan dan kegelapan
  2. Penyemangat pada waktu satriya dalam keadaan putus asa
  3. Penyelamat pada waktu satriya dalam keadaan bahaya
  4. Pencegah pada waktu satriya dalam nafsu/emosional
  5. Teman pada waktu satriya kesepian
  6. Penyembuh pada waktu satriya dalam keadaan sakit
  7. Penghibur pada waktu satriya dalam keadaan kesusahan
SEMAR YANG MENJUJUNG HARMONI:
Semar sebagai figur yang menjunjung tinggi harmoni pada jalur mendatar [horizontal/social] dan jalur vertical religius. Kata kunci utuk kedua harmoni mendatar atau sosial, Kawulo-Gusti menjadi penghubung yang selaras antara rakyat dan pemimpin. Pelanggaran terhadap harmoni timbulah gara-gara.
Gara-gara adalah momentum disharmoni alam dan menusia yang memerlukan suatu kekuatan untuk meredakannya. Gara-gara merupakan peristiwa alam dalam keadaan chaos atau kacau balau.
Darmajati Supanjar [1993 : 219] mengatakan bahwa alam akan chaos /kacau diperlukan campur tangan dari tingkat setinggi-tingginya, yaitu Tuhan, melalui "Semar"
Pemunculan figur Semar dalam peristiwa gara-gara membawa keadaan dunia dalam alam semesta menjadi tenang, damai seperti sedia kala. Figur semar dalam hal ini diharapkan kehadirannya sebagai pengayom dunia dan kehancuran dan kerusakan.


SEBUTAN DIRI SEMAR
Adapun makna nama dan sebutan yang melekat pada figur Semar antara lain:

  1. Semar berati Samar [ghaib] tak dapat dijangkau akan [trancendent]. Semar berasal dari kata "sengsem marang kang samara" dapat disalurkan cinta kepda kang ghaib [Allah] yang dijelmakan lewat ibadah asma-Nya [Poejosoebroto, 1975; 46]. Semar juga berasal dari kata "Sar" berarti sesuatu yang memancarkan cahaya [dewa cahaya] atau sebagai sumber cahaya
  2. Semar memilki sebutan Badranaya yang artinya cahaya tuntnan atau tuntunan sejati atau nurnaya atau nur cahaya. Menurut Poejosoebroto [1975;51] Badra berarti kebahagiaan, berarti kesejahteraan, sedangkan naya berarti kebijakan politik. Badranaya berarti politik kebijakansanaan,kebijaksanaan yang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.
  3. Jnana Badra berati caha ilmu pengetahuan. Jnana berarti ilmu pengetahuan, sedangkan Bhadra berarti bulan atau cahaya atau sinar. Jadi Jnana Bhadra berarti sinar ilmu pengetahuan
  4. Maya berarti kesaktian brahmana, "kesaktian sunya" dan maya sendiri tak tampak atau "tan kasat mata". Jadi maya itu adalah maya, tetapi juga berarti sakti
  5. Janggan, Kyai, Kakang adalah sebutan untuk ulama atau orang yang dihormati
  6. Asmara, berarti cinta kasih,phylotes atau [dalam tasawuf] sama dengan Mahabbah, tingkat di atas ma'rifat
  7. Santa, berati suci, jadi asmarasanta berati cinta kasih yang suci
  8. Duda manang-manung, berarti bukan laki-laki, bukan wanita juga bukan banci. Tidak mempunyai dunung [tempat tinggal] tetapi berada di mana-mana [immanent] tidak beranak, tetapi diikuti "anak" [Gandarwa Bausasra]. Pendek kata tak ada yang sama dengan apapun [tan keno kinoyo ngopo]
  9. Cahya Buana, berarti cahaya bumi, langit dan seisinya.
......Masih sarat makna, dan maaf tidak di kupas tuntas.......



Monday, September 15, 2008

ORANG JAWA MEMAKNAI AGAMA

Berangkat dari keyakinan, maka orang memeluk Agama. Kadangkala orang menjadi sangat fanatic, bahkan dengan sukarela berkorban untuk agamanya, bakan hanya harta, nyawapun dipertaruhkannya. Hal itu terjadi karena setiap orang memliki cara tersendiri dalam memaknai agama. Dalam memaknai Agama orang Jawa memiliki unikan, hal ini diendus ketiak M.Soehadha mencermati lebih detil dari sebuah kasus pengalaman mistis para penganut salah satu aliran kejawen terbesar di Indonesia--Paguyuban Ngesti Tunggal [Pangestu].
Kemudian apa “pangestu” itu?
Pangestu itu pada dasarnya bukanlah agama dan bukan pula mendirikan agama baru. Dan menolak penempatakn Pangestu sebagai perkumpulam kebatinan sebagaimana terhimpun dalam Himpunan Penganut Kepercayaan—HPK.
Penganutnya lebih suka, Pagestu dikatakan sebagai “Fakultas Psikologi”, tempat ,menempa kejiwaan. Oleh karena itu Pangestu tidak hanya diikuti orang yang mengaku abangan, namun juga dari kalangan yang “saleh” dalamn beragama [Islam atau Kisten]
…Kajian buku ini adalah membentangkan mistisme Pengestu yang menawarkan cara keagamaan yang lebih intens dan memberikan makna bagi kepuasan “rasa” religius di kalangan umat agama.
Dalam praktik agama-agama formal dianggap cenderung menekankan pada syariat penembah [ritual] dan hanya menawarkan kepuasan bersifat rasionalistik semata. Mistisme Pengestu menawari umat beragama praktik-praktik keberagaman yang damai dan toleran, sehingga tidak menimbulkan gejolak social, karena lebih berorientasi ke dalam diri pribadi manusia.
Data buku
JUDUL: Orang Jawa Memaknai Agama
PENULIS: M.Soehadha
PENERBIT: Kreasi Wacana—Kadipaten Kulon KP I/73 Yogyakarta 55132 . Telp. 0274—381682. E-mail : kreasi_wacana@telkom.net website: http://www.kreasiwacana.com/
ISBN : 978-602-8001-09-0
CETAKAN: I—Agusutus 2008
TEBAL: xvi + 232 halaman

[Ajaran Tunggal Sabda]
Dalam kitab Sasangka Jati (1969: 70-90)disebutkan tentang pandangan Pangestu yang mengajarkan bahwa intisari dari ajaran agama Islam, Kristen dan Pangestu adalah sama. Ketiga keyakinan itu mengajarkan tentang syahadat tauhid, bahwa segala ajaran yang disampaikan melalui rasul, sebagaimana termuat dalam Injil pada intinya adalah ajaran tentang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Adapun perbedaan syariat atau cara dalam menjalankan ajaran sudah menjadi kebijaksanaan Tuhan. …[hlm 120]

Pangestu Bukan Agama
Meskipun Pangestu memiliki konsep ajaran yang luas yang mencakup tentang Ketuhanan, kitab suci, utusan Tuhan [Rasul], dan ajaran-ajaran tentang jalan hidup, namun Pangestu menolak menyebut bahwa ajaran Pangestu adalah ajaran agama atau ajaran aliran kepercayaan
Apa kitab Sasangka Jati?
Kitab Sasangka Jati itu berisi perintah dan larangan, tetapi perintah dan larangan tersebut pelaksanaannya tidak mengandung hukum wajib bagi mereka yang percaya. Isi dari kita Sasangka Jati diibaratkan sebagai obor yang memberi terang bagi siapa yang masih diliputi oleh kegelapan, dan hanya ditujukan kepada siapa yang membutuhkan, Oleh karena itu pelaksanaan perintah dan larangan sebagaimana diajarkan dalam kitab tersebut, tidak mewujudkan suatu syariat yang lazim dalam agama-agama. Dengan dasar ajaran seperti itu, maka orang Pangestu lebih suka menyebut ajaran-ajaran Pangestu sebagai ajaran kejiwaan, atau dalam istilah mereka sebagai kancah pendidfikan jiwa atau sebagai “fakultas Psikologi”

Posisi
Posisi ajaran Pangestu dan pandangan agama-agama dengan jelas dapat dilihat dalam kitab sasangka Jati [1969:61-65]. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa kedatangan Sang Guru Sejati bukanlah hendak merusak atau mengganti peraturan Tuhan atau agama yang telah ada. Pangestu mengakui bahwa ajaran Kristen dan Islam adalah ajaran yang benar. Oleh karena itu, bagi mereka yang telah memegang syahadat Kristen atau Islam secara benar, dan telah menjalankan syariatnya, maka tidak ada kewajiban lagi bagi mereka untuk melaksanakan ajaran Pangestu [1969:64]

Kata Pengikut Pangestu:
Dokter Suyadi (45 Tahun)
“tidak ada satu orang pun di Pangestu yang tidak beragama. Semua orang yang ikut Pangestu adalah orang-orang yang beragama, entah dia Islam, Kristen, Katolik, Hindu maupun Budha. Demikian halnya saya ini, saya juga orang yang memeluk agama. Jangan menganggap bahwa orang yang menjalan ajaran Pangestu itu adalah orang tidak memeluk agama. Itu keliru. Seringkali orang menganggap bahwa mereka yang mengikuti Pangestu, bukan orang yang beragama. Sebab, orang itu menganggap bahwa Pangestu seperti aliran kebatinan atau aliran kepercayaan”

Kiyai Haji Yang Pangestu:
“ Jangan heran, jika di Pangestu ini terdapat banyak orang yang sangat saleh dan taat dalam menjalankan agama Islam atau Kristen. Bahkan di antara orang-orang Islam yang mengikuti Pangestu itu telah melaksanakan Ibadah Haji. Di Solo misalnya, Anda dapat menjupai orang Pangestu yang “kiyai haji” dan memiliki pondok pesantren. Namanya Haji Hambali. Anda bisa belajar banyak dari beliau, jika ingin mengetahui bagaimana hubungan antara ajaran Islam dengan ajaran Pangestu. Dia itu kalau mengajar di pondok pesanternnya juga mengkaji ajaran-ajaran Pangestu. Tetapi, kalu Anda ingin menjumpai yang bertitel “haji” saja, Anda bisa banyak menjumpai di Yogyakarta.”

Mengepresikan Perasaan Religius:
Para pengikut Pangestu yang menjadikan Pangestu sebagai tumpuan utama dari ekspresi keagmaannya, umumnya menganggap bahwa dalam kehidupan seseorang yang penting bukanlah pada “label” dari agama yang ia peluk, melainkan kesadaran keagamaan. Seorang informan yang masuk dalam golongan ini mengatakan bahwa orang boleh memeluk atau tidak memeluk agama apa pun secara formal, sebab yang penting bagi seseorang adalah kesadaran keagamaan, buka wadahnya. Orang harus mempunyai kesadaran bahwa Tuhan itu ada, Tuhan ada di hatinya. Dari keyakinan dan kesadaran terhadap adanya Tuhan, maka manusia mampu mengembangkan nilai-nilai moral yang baik, terutama dalam berhubungan sesama manusia.

Tuesday, August 26, 2008

BUTIR-BUTIR BUDAYA JAWA

Hanggayuh Kasampurnaning Hurip
Berbudi Bawaleksana
Ngudi Sejatining Becik”
[Tulisan ini terpampang di Sampul depan buku ini]

Dari tulisan ini memberikan gambaran isi buku, bahwa buku ini mengandung butiran mutiara yang mengarah pada sebuah pusaran tekad hakiki manusuia. Bahwa manusia itu dalam hidup dan kehidupannya selalu dinuansaai kenginian luhur, yakni menggapai totalitas kesempurnaan hidup yang dibarengi langkah bijak dalam memberi arti kehidupan itu sendiri. Sebuah makna filosofis yang memiliki makna sangat dalam dan luas bagaikan samudera.
Buku ini merupakan kompilasi dari kata bijak para lelehur dalam wujud “pitutur luhur” , yakni sebuah fenomena pembelajaran kehidupan, dalam rangka mengapai total kualitas hidup.
Seorang-orang Presiden, dan Jendral Bintang Penuh, ternyata sangat lekat dengan citarasa Jawa. Membidikan hati dan bathinnya dengan mengkoleksi butiran Budaya Jawa.
Kendati saat ini berbaring dalam pelukkan Ilahi Robbi, karyanya tak pernah pupus, dan lapuk.
Data buku:
JUDUL : Butir-butir Budaya Jawa
PENYUNTING: Hj. Hardiyanti Rukmana [mbak Tutut]
PENERBIT: Yayasan Purna Bhkati Pertiwi
CETAKAN : VIII—1996
ISBN: 979-8103-00-9
TEBAL: xiv + 205 hlm; 28 cm

Buku ini sebenarnya memiliki privasi yang tinggi untuk kalangan Keluarga Soeharto, ini nampak pada halaman persembahan, tertulis”
Buku ini saya berikan pada anak-anakku sebagai pegangan hidup, 8 Juni 1986.
Buku ini isinya terdiri dari dua dimensi yang utuh, sebagai pegangan hidup keluarga Soeharto, dimensi pertama buku ini berisikan kumpulan butir-butir budaya yang berwujud “pituduh”, dimensi kedua berupa kumpulan butir-butir budaya yang berbentuk “wewaler”
Adapun butir-butir yang dimasud, membentangkan hal-hal sebagai berikut:
  • Ketuhanan Yang Maha Esa
  • Kerohanian
  • Kemanusiaan.
  • Kerbangsaan
  • Kekeluargaan
  • Kebendaan

Butir-butir Budaya Jawa yang diwujudkan dalam pituduh misalnya:

Tuhan itu ada di mana-mana, juga ada pada dirimu, tapi jangan engkau berani mengaku Tuhan

Tuhan itu jauh tanpa ada batasnya, dan dekat sekali tapi tidak dapat bersentuhan

Tuhan menciptkan engkau itu melalui ibumu. Oleh karena itu hormatilah ibumu

Barang sipa suka berbuat kebajikan dan ikhlas melakukan tapa brata [tirakat], akan menerima anugerah dari Tuhan

Barang sipa mengakui adanya Tuhan, tergolong yang sempurna hidupnya

BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEROKHANIAN

Terjadinya dirimu itu melalui adanya Ibu-bapakmu

Adalah Guru sejati yang dapat menunjukkan mana makhluk halus yang menolong dan mana yang mencelakakan

Cakra manggilingan [hidup itu bagaikan roda yang terus berputar]
Jaman itu serba berubah

Tuhan itu berada dalam hati manusia yang suci, karenaya Tuhan disebut pula sebagai hati yang suci

Pertemuan dengan Tuhan terjadi bila dirimu selalau ingat kepada-Nya

Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh karena itu jangan mengagung-agungkan kekayaan dan derjatmu, sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keadaan Anda tidak akan menderita aib

Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu jangan melupakan sesamamu

Barang siapa suka merusak ketenteraman orang lain akan mendapat murka Tuhan, dan akan digugat karena ulahnya sendiri

Tuhan itu berada pada dirimu, danb pertemuan dengan Tuhan akan terjadi apabila engkau selalu ingat kepada-Nya

BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEMANUSIAAN”

Banyak berkarya, tanpa menuntut balas jasa, menyelamatkan kesejahteraan dunia

Manusia sekedar menjalani, diibaratkan laksana wayang

Hati seci mengarah ke keselamatan

Pengetahuan yang benar membuat hati kita senang

Berusaha berbuat baik dengan budi yang sentosa

Kalau ingin selamat (berhasil) harus ada biayanya [pengorbanan]

Baik buruk ada pada diri kita sendiri

Barang siapa lupa akan kebajikan orang lain itu seperti berwatak binatang

Ciri-ciri orang luhur, ialah tingkah laku dan budi bahasa yang halus, keikhlasan hati, dan sedia berkorban, tanpa mendahulukan kepentingan pribadi

Harga diri terletak pada mulut dan budi

BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEBANGSAAN”

Bangsa itu sebagai sarana untuk kuatanya suatu Negara, oleh karena itu jangan mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatriya

Yang baik itu kalau mengerti akan hidup bermasyarakat dan bernegara, maka di depan memberi teladan, di tengah menjadi penggerak, di belakang memberi daya kekuatan

Negara itu dapat tenteram kalau murah sandang pangan, sebab rakyatnya gemar bekerja, dan ada penguasa yang mempunyai sidat badil dan berjiwa mulia

Prajurit yang mencintai rakyat jelata, akan disayangi rakyat dalam Negara itu, dan membuat kokohnya Negara dan menjadi perisai negara


Penguasa itu harus membuat tenteram rakyatnya, kalau tidak dapat terjadi rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam Negara itu

Jaman penderitaan rakyat akan hilang kalau sudah ada orang yang dapat menghilangkan hal-hal yang menyulitkan



Thursday, August 7, 2008

REORIENTASI DAN REVITALISASI :PANDANGAN HIDUP JAWA.

Orang sering mencirikan budaya Jawa itu penuh toleran dan akomodatif, oleh karenanya Jawa tidak pernah memiliki sikap yang serta merta menolak, namun lebih dari itu, segalam sikap akan melalui proses pengedapan. Termasuk pula dalam aspek kehidupan religius. Jawa sangat erat dengan “sinkretisme” yakni pola laku mengkombinasikan sebuah keyakinan. Oleh karenanya ditengarai bahwa pandangan budaya Jawa itu selalu ditandai hal-hal berikut:

  • Religius
  • Non doktriner
  • Toleransi
  • Akomodatif
  • Optimistik

Akhir seorang-orang bernama Suyamto, Insinyur yang saat itu sebgai Ketua Umum Yayasan Jatidiri, menuangkan gagasannya setelah melewati penghayatan apa yang dilihat dan didengar, terkait dengan budaya Jawa. Gagasan ini, kini telah menjadi buku, dengan mengmbil judul Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Sesunggah nya gasaan awal ini berawal dari sebuah permohonan ceramah di hadapan 2000 anggota PERMADANI—[Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia] yang sedang memperingati hari ulang tahun kedelapan [sewindu].
Buku ini adalah rekaman perenungan tenteng berbagai aspek kebudayaan Jawa, sebagai tindak lanjut tanggapan-tanggapan atas makalah pada Konggres Kebudayaan Nasional di Jakarta, tanggal 29 Oktober sampai 3 Nopember 1991, terutama mengenai “tantularisme” dan kaitannya dengan sikretisme Jawa.
Data Buku:
JUDUL: Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa
PENULIS : Sujamto, Ir
PENERBIT : Dahara Prize. Jl. Dorang 7 Phone 23518 Semarang.
CETAKAN : II Edisi revisi Nopember 1992
TEBAL : 127 Hlm

Gagasan awal buku ini, ingin melihat lebih dalam tentang pola laku itu, bahkan mengejawantahkan terminologi baru paham Jawa yang dirasa lebih tepat, yakni “Tantularisme”. Orang tentunya akan dingatkan oleh pemikiran ini karena “Tantular” adalah seorang-orang empu yang memiliki ketajaman pikir dan kearifan.
Buku ini membedakan, antara “tantularisme” dan "sikretisme Jawa", kendatipun memiliki kedekatan
Kita ketuhui saat ini penggunaan terminology sikretisme dalam ranah budaya Jawa, sangat deras. Namun acapkali memiliki multi tafsir. Mulai dari istilah ‘Sinkretisme”, “sinkretisme agama”, atau “sikretisme Jawa” untuk menunjukkan gejala atau kecenderungan yang menonjol dalam religiositas Jawa. Sisi lain istilahn ini sebagai penggantinya dipadankan dengan “mosaic” , “Coalition”, “the religion of Java” atau “agama di Jawa, atau sekedar istilah “percampuran” atau “vermenging” atau “agami Jawi"

SINKRETISME:Jika merujuk istilah-istilah yang sedang berkembang terkait dengan sinkretisme, seperti vermenging, blending, mosaic, amalgamation dan lain-lain itu jelas lebih berkonotasi pada proses dan bentuk ketimbang pada semangat yang mendasari proses itu. Sinkretisme memang dapat kita pandang dari segi proses dan bentuk. Tetapi sinkretisme adalah juga semangat. Dan terhadap gejala yang terjadi dalam religiositas Jawa ini, barangkali kita akan memperoleh gambaran yang lebih mendekati kenyataan kalau kita melihatnya dari semangat. Dilihat dari segi ini, akan sangat jelas bahwa semangat yang ada dalam religiositas Jawa itu yang menonjol bukanlah semangat sikretisme. Bukan semangat untuk membentuk sesuatu aliran atau system kepercayaan ataupun agama yang ada. Semangat yang amat menonjol adalah toleransi yang hampir-hampir tanpa batas, yang dilandasi oleh kayakinan orang Jawa pada umumnya bahwa “sedayaagami punika sami” [semua agama itu baik]
TANTULARISME:
Arus utama yang cukup menonjol sejak zaman dahulu adalah semangat yang menghormati semuaagama, semangat yang tidak memandang hanya agama dan kepercayaan sendiri yang benar, semangat yang bersedia mengakui kebenaran hakiki, dari mana pun sumbernya, emangat yanag memandang agama lain hanya merupakan jalan lain menuju tujuan yang sama, semangat yang tercakup dalam ungkapan Empu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Semangat ini, untuk menghormati Empu Tantular, dinamakan Tantularisme

PERBEDAAN TANTULARISME DAN SINKRETISME
Melihat perbedaan tantularisme dengan sikretisme hanya dari proses atau wujud gejalanya, barangkali memang agak sulit. Persamaan dan perbedaan antara sikretisme dengan tantularisme pernah dibedakan oleh penulis buku ini, dengan ungkapan bahasa jawa:
yen dinulu mirip rupane, lamun ginigit beda rasane” [kalau dilihat mirip rupanya, kalau digigt beda rasanya]
Dilihat sepintas dari luar, wujudnya sering mirip, tetapi kalu dihayati seksama dari dalam, akan nyata bedanya. Pokok-pokok perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:

  1. Sinkretisme berangkat dari keinginan untuk memadukan dua [atau lebih] system keyakinan, kepercayaan atau agama menjadi satu system baru yang unsure-unsurnya berasal dari sistem-sistem lama tersebut. Sedangkan tantulisme berangkat darti keyakinan bahwa system-sistem itu adalah jalan-jalan yang berbeda menuju kepda tujuan yang sama, yaitu Tuhan
  2. Hasil akhir Sinkretisme adalah terbentuknya sustu system agama atau kepercayaan baru, sedangkan tantularisme tidak dan tidak ingin membentuk agama ataupun system kepercayaan baru
  3. Sinkretisme tidak dapat melepaskan dirinya dari sektarianisme dan disadari atau tidak, akan beranggapan bahwa “system agama atua kepercayaannya itulah yang paling benar”, kare merupakan penggabungan dari unsur-unsur pilihan dari berbagai system yang ada. Tantularisme sama sekali bebas dari sektarianisme dan eksklusifisme, karena memang tidak membentuk “wadah” tersendiri dan tidak ingin menciptakan “pagar” atau pun “kurungan” yang baru. Kebenaran itu bersifat [meminjam istilah Abdurrahman Wahid] lintas batas. Segala yang universal itu bersifat lintas batas
  4. Sinkretisme bersifat divergen sedang tantularisme bersifat konvergen
  5. Sinkretisme tidak dapat melepaskan diri dari kenisbian pandangan tentang kebenaran, sedangkan tantularism,e bertitik tolak dari pandangan tan han dharma mangrwa, kebenaran hakiki itu bersifat tunggal dan universal. Di manapun ia berada, kebenaran adalah tetap kebenaran. Diakui atau pun tidak
  6. Sinkretisme yang menghasilkan system agama dan kepercayaan baru itu akhirnya juga menciptakan ajaran-ajaran bartu dan doktrin-doktrin baru. Tantularisme tidak menciptakan ajaran baru dan sepenuhnya bersifat non doktriner
  7. Sesuai dengan sifatnya yang sektaris, lingkup wawasamn Sinkretis, lingkup wawasan sinkretisme biasanya terbatas [contoh : aliran-aliran yang mengikat diri pada sifat kejawen], sedang lingkup wawasan tantularisme adalah universal, bebas dari dimensi ruang dan waktu.

Tuesday, July 15, 2008

SERAT JAYABAYA

Kita pernah mengenail Jhon Nisbit, seorang futurolog yang meneropong “Megatrand 2000”, kemudian Avlin Toffler, adalah manusia canggih abad ini, piawai melihat masa depan, dengan teropong rasionalnya. Pemikiranya saat ini diacu dunia, merupakan referensi setiap seminar, bahkan digunakan sebagai telaah renca masa depan siapa saja.
Bagaimana dengan jagad budaya Jawa ?, Ternyata Jawa memiliki kekayaan yang yang sama terkait dengan kemampuan meneropong masa depan. Justru Jawa telah mendahului, kira kira diabad 12 naluri itu telah teruji. Jawa mampu melahiran pandangan Jernih dan Bijak, itu semua eterdokumentasi dalam “serat Jaya Baya”. Ketika itu melalui perenungan spiritual, dibukalah cakrawala dunia, bahkan seorang-orang Prabu Jayabaya telah mencapai “Maqam ruhani”. Dia adalah manusia yang dibekali dengan kekuatan ruhani, dan mengkuak tanda-tanda Zaman. Hasil perenungannya kini terdokumentasi pada Serat Jangka jayabaya dan Kitab Musasar.
Namun yang menjadi Kendal kita, adalah kemampuan memahaminya, karena karya-karya indah itu ditulis dalam bahasa simbolik. Untuk memahaminya diperlukan tingkatan pencermatan yang tinggi, dan itu pun harus didukung daya intepretasi yang tinggi.
Detil Buku:
JUDUL: Serat Jayabaya
PENULIS : M.Hariwijaya & Ratih Sarwiyono
PENERBIT: Media Wacana. Jl. Gambiran UH/271 Yogyakarta 55161. Telp. 087838230821
CETAKAN: I-V penerbit Niagara 2004. Edisi Revisi Juli 2008
ISBN :978-979-99940-4-2
HALAMAN: 145 x 210. 136 hlm

Buku ini menguraikan ramalan Jayabaya pada jaman Kaliyuga atau jaman kerusakan, di mana terjadi jaman yang nilai-nilai sosialnya menjadi serba terbalik, dan tatana alam menjadi rusak.
Kaliyuga bagi seorang-orang yang memahami sejarah secara spekulatif adalah suatu siklus sejarah. Setelah jaman ini akan hadir jaman Kretayuga atau ada yang menyebutkan Kalakreta. Bahkan ada yang mengatakan, syarat memasuki jaman Kretayuga sekuensialnya harus melewati jaman Kaliyuga. Kretayuga adalah suatu jaman keemasan, jaman gemilang, jaman yang digambarkan oleh dhalang dengan kalimat gemah rimpah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Jayabaya, oleh rakyat Jawa diletakkan dalam jajaran Ratu Adil yang pernah memimpin tanah Jawa. Ia ditasbihkan bersala dari kalangan Wali Alllah.
Menurut teropong pikirannya, perjalana jaman Kaliyuga menuju jaman Kretayuga, akan ditandai munculnya Satria Piningit.
Dalam buku ini dipaparkan pula tujuh kepemimpinan Indonesia, antara lain:
  1. Satria Kinunjara Murwa Kuncara
  2. Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar
  3. Satria Jinumput Sumela Atur
  4. Satria Lelana Tapa Ngrame
  5. Satria Piningit Hamong Tuwuh
  6. Satria Boyong Pambukaning Gapura
  7. Satria Pinandita Sinisihan Wahyu


Friday, July 11, 2008

MENYAMBUT SATU DASA WARSA PAGUYUBAN CAHYA BUWANA

NDerek Dawuh KAKI SEMAR
Zaman ini memungkinkan tertibnya pendokumentasiaan, melalui buku seorang-orang, atau organisasi akan lebih rapi terkait soal dokumentasi.
Sebuah dokumentasi yang amat berharga telah dibuat oleh sebuah Paguyuban Cahya Buana, yakni sebuah paguyuban penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku ini dibuat terkait dengan momenten organisasinya, yakni dalam rangka 1 Dasa Warsa Paguyuban Cahwa Buwana. Organisai ini memposisikan dirinya bukan oranisasai politik, dan akan “Nguri-uri Kebudayaan Jawi’ berdasarkan Pieulang dan Dhawuh Kaki Tunggul Sadba Jati Daya Among raga [Kaki-Semar]
Detil Buku:
JUDUL: nDerek Dawun KAKI SEMAR
PENULIS: Tjaroko HP. Teguh Pranomo
PENERBIT:Kuntul Press. Gombang, [Depan Puskemas], Tirtonadi, Mlati Sleman, Yogyakarta. HP. 08175423046
ISBN: 978-979-16502-8-1
CETAKAN: 2008
HALAMAN: Xl+262 hlm; 14x20 cm
Buku ini menjelaskan secara detil Jati diri Paguyuban Cahya Buwana, yang memposisikan sebagai organisasi non politik dan meletakkan ranah pengabdiannya dalam memetri nguri-uri naluri tatanan budaya Jawi “.
Seperti kata sambutan yang diberikan oleh salah satu penghayatnya, adalah seorang-orang penghayat yang masih belia, Ade Styawan Teguh Setyhyarso, mengatakan,
“Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi generasi muda agar lebih menyadari budaya sendiri, lebih arif dan bijaksana dalam neghargai warisan budaya leluhur yang generasi sebelum kita telah menjaganya secara turun temurun dan dengan susah payah. Apa jadinya bila Kejawen diaku keberadaanya oleh Negara lain …?!?!

Kejawen apa itu?. Menurut buku ini,
Kejawen adalah bukan agama, bukan sekte baru, bukan aliran sesat, tetapi kejawen adalah tatanan kehidupan yang selaras seimbang, baik dengan Tuhan Yang Maha Esa, leluhur, alam dan sesame manusia.
Kejawen adalah salah satu bentuk sederhana dari manusia untuk mengerti dan memahami dari mana manusia itu bersal [sangkan paraning dumadi] dank e mana manusia itu harus menyembah.
Buku ini juga mencantumkan visi, misi dan serta memuat lengkap anggaran dasarnya. Dalam menjalankan aktivitasnya buku ini juga mencatumkan secara lengkap tempat-tempat yang dapat digunakan untuk ritual. Tempat itu menyebar di seluruh Indonesia.

VISI :

Paguyuban “Cahya Buwana”
“Mamemayu Hayuning Bawana, yaitu Mewujudkan Keselarasan Alam Semesta dan Mempertahankan Keindahannya”

MISI:
Paguyuban “Cahya Buwana”

  • Menelusuri Tatanan dan Nilai-nilai Tradisional Kebudayaan Jawa
  • Mempertahankan Kelestarian Kebidayuaan Jawa dan Mengembangkannya Baik secara fisik maupun Spiritual
  • Mengembangkan Mandalagiri Srandil sebagai Tempat Suci

Kegiatan ritual Paguyuban “Cahya Buwana” meliputi:

  1. Sarasehan Agung Kemil Wage Malam Jumat Kliwon di Padepokan Agung manlagiri Srandil dan atu di petilasan Kaki Semar di Gunung Srandil
  2. Larungan sesaji kepada Kanjeng Ibu Ratu Kidul Sekaring Jagad, setiap hari jumat Kliwon pagi di Srandil, pantai Laut Selatan
  3. Peringatan Tahun Baru Jawa 1 Sura
  4. Hari Arwah setiap tanggal 4 April
  5. Hari Tumuruning Wahyu setiap tanggal 5 Agusutus
  6. Hari Ulang Tahun Paguyuban “Cahya Buwana” setiap tanggal 29 Nopember
    Melakukan ziarah dan atau napak tilas ke lokasi dan atau tempat sesuai petunjuk atau dhawuh beliau Kaki Semar

Buku ini juga membahas detil siapakah sebenarnya, Kaki Semar itu ? Dalam posting tidak diungkap secara lengkap, sebagai penghargaan karya penulisnya. Namun untuk piwulangnya dipaparkan sebagai berikut:

PIWULANG DAN DHAWUH-DHAWUH
1. Pemahaman kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi
2. Tatanan Paugeraning urip
3. Pemahaman mengenai “adil”
4. Pengertian nasib dan takdir
5. Pengertian kodrat lan apes
6. Pemahaman mengenai hidup
7. Pengertian akherat
8. Tata cara mengesthti [samadi]
9. Pengertian Aji mumpung
10. Pemahaman tentang tirakat atau rialat
11. Ramalan Jayabaya atau Jaman Edan
12. Pemahaman Hukum Alam
13. Hidup bermasyarakat atau urip bebrayan
14. Kiasan atau sanepa dari sesaji
15. Pemahaman sangkan paraning dumadi
16. Pemahaman manunggaling kawula lan Gusti
17. Pemahaman kasedan jati
18. Pemahaman mengenai “mampir ngombe”
19. Pemahaman mengenai ndonga
20. Pemahaman mengenai ati nurani
21. Pemahaman mengenai “karma”
22. Mengenai “lakum dinukum waliyadin

[catatan : mengenai piwulang atau dhawuh dari hal-hal di atas dapat dibaca pada buku Wedharan Dhawuh Kaki Semar edisi tahunan yang dfiterbitkan setiap awal tahun baru Jawa . Buku tersebut di cetak dan diterbitkan oleh paguyuban “Cahya Buwana”]

Thursday, July 10, 2008

DUNIA BATIN ORANG JAWA

Ternyata bangsa kita memiliki khasanah budaya yang dikagumi oleh banyak manusia manca negara. Tak kurang seorang-orang bernama Alexander Pushkin, sastrawan besar, penyair kelas dunia [1779-1837] sempat mengisahkan kembara “iamginernya tentang “Jawa’ dalam sebuah puisi terbaiknya yang berjudul Antiar.
Demikian pula dalam The Triumphant Love [1881] karya Ivan Turgenev, Jawa pernah mampir dibenaknya, terbukti dia mengkreasi karya besar dengan menggambarkan eksotisme Nusantara [termasuk Jawa] sebagai kawasan yang samar, misterius, ajaib.
Persoalannya, mungkin saat ini banyak orang jawa yang mulai melupakan pernik-pernik budaya Jawa kendati banyak orang di belahan benua lainnya “ngudi kaweruh Jawa” [sedang mencermati dengan seksama budaya Jawa]. Buku ini berusaha mendekatkan kembali orang, kepada budayanya, agae tidak kehilangan jati dirinya. “Wong Jawa lali Jawane” [orang Jawa yang tidak kenal lagi hakikat dirinya].
Semuanya telah ditinggalkan, dilupakan, halusnya dipinggirkan. Banyak orang Jawa yang mulai melupakan apa itu peribahasa. Apa yang disebut dengan paribasan, bebasan, saloka, pepindhan, sanepa, dan isbat. Akibatnya, tidak seorang-orang acapkali ditertawakan ketika berkata, atau mendengar kata “alon-alon waton kelakon”, “golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar.
Buku ini ingin menjembatani, agar orang Jawa tidak kehilangan eksistensinya. Oleh karenanya buku ini mengetengahkan pandangan hidup, atau dunia batin orang Jawa dalam berbagai unen-unen. Dan dalam unen-unen itu terkandung hakikat budaya, sebuah kecermatan yang diinduksi dari laku orang orang jawa berabad-abad. Ini merupakan pundit-pundi khsanah Jawa.

Detil Buku
JUDUL: Dunia Batin Orang Jawa
PENULIS Iman Budhi Santosa
PENERBIT : RIAK-Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan. Jalan Mangkuyudan MJ III/216 Yogyakarta.
ISBN: 978-979-15832-8-5
CETAKAN : I April 2008
HALAMAN: Viii + 144

Sekelumit isi :

Secara bersamaan juga diposting di blog Bandar Kata Bijak, karena memiliki resonansi maksud yang sama]

Aja dumeh
Artinya: “jangan sok atau mentang-mentang”,
Terjemahan bebsanya adalah jangan suka memamerkan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina orang lain. Misalnya : aja dumeh sugih [jangan mentang-mentang kaya], dan menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang [ tidak dimiliki lagi]

Aja nggege mangsa
Artinya:”jangan memaksakan waktu”
Jangan memaksa memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak akan memuaskan. Misalnya, untuk mmendapatkan mangga yang manis perlu menunggu satu tahun. Apabila memetiknya kurang dari satu tahun pasti rasanya kecut [masam]

Aja ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton
Artinya: “jangan berbicara asal bicara, tetapi bicarah menggunkan landasan yang jelas.” Peringatan atau nasihat agar di dalam berbicara [berkomunikasi] perlu menggunkan tata-krama yang baik. Juga harus jelas apa yang akan disampaikan dan cara penyampaiannya supaya tidak menimpulkan salah faham bagi yang diajak bicara

Ana sethithik dipangan sethithik
Artinya::ada sedikit dimkan sedikit”
Salah satu semboyan wong cilik Jawa yang sangatv terkenal dalam menjalani tirakat [ascestisme] dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, missal sehari punya penghasilan seribu rupiah yang dipakai untuk hidup maksimal harus sembilan ratus rupiah. Dengan demikian, untuk bekal hidup esok hari amasih punya seratus rupiah

Becik ketitik, ala ketara
Artinya:”siapa berbuat baik akan terbukti [diakui], siapa berbuat buruk akan kelihatan sendiri”. Anjuran agar siapa pun jangan takut berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.

Bener luput, ala becik, begja cilaka. Mung saking badan priyangga
Artinya: “bener salah, baik buru, beruntung celaka, berasal dari badan sendiri.”Salah satu inti dari ajaran kejawen yang menyatakan bahwa apa yang diperoleh seorang –orang lebih merupakan hasil [kausalitas] dari perbuatannya sendiri; bukan semata-mata akibat [pengaruh] perbuatan orang lain.

[Wusana kata: Masih banyak unen-unen di buku ini kurang lebih 141 unen-unen, oleh karenanya layak buku ini sebagai pundi-pundi khasanah Jawa]


Monday, July 7, 2008

CITRA DIRI ORANG JAWA

Seorang-orang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian, manakala orang itu memiliki tingkatan komitmen yang tinggi terhadap budaya. Dengan kata lain “Widya Darma Budaya” itu tercermin pada sebuah “gegayuhan hayati” atau niatan insan untuk meningkatkan atau mempertebal rasa percaya diri (self confidence)
Gegayuhan hayati itu meliputi; Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila, apabila seorang-orang telah melengkapi dirinya dengan kriterium tersebut, berarti telah memasuki gambaran idial citra dirinya.
Sebuah buku yang sarat dengan makna dan memberikan uraian tentang Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila, sangat detil. Seorang-orang dinyatakan memasuki labirinnya idealitas itu, tidak hanya memenuhi secara minimal, dalam arti menyediakan/memenuhi, wisma, misalnya. Ternyata lebih dari itu.
Ketika orang dinyatakan telah mampu memiliki wisma, tentunya juga harus mengenali lebih dalam makna yang terkandung adalam “wisma” itu sendiri. Mulai dari makna filosofi, hingga makna pragmatignya.
Buku yang dikreasi Suryanto Sastroatmojo ini, membedah makna hingga akar-akarnya, ternyata idealitas yang tersimpan dari, Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila , tidak hanya menyediakan namun terdapat “kata arif yang tersembunyi di balik kata itu”
Detil buku:
JUDUL : Citra diri Orang Jawa
PENULIS: Suryanto Sastroatmojo
PENERBIT: Narasi. Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292 Telp. 0274-7103084.
CETAKAN I-April 2006
ISBN: 979-7564-80-0
HALAMAN: viii+ 136 hlm. 13,5 x 19,5
WISMA:
Wisma dimaknakan sebagai papan, idealitasnya jika sebuah rumah tangga dijamin oleh tempat tinggal telah mencapai idialitas itu, dan citra diri seorang akan’ternamai”. Namun adapula yang memberikan simbolis sebagai kemapanan, atau seorang-orang yang telah mencapai pada tataran “establish
Buku ini sangat luarbiasa dalam mencermati wisma, mulai pemikiran harmonisasi hingga persenyawaan antara alam dengan zaman, alam dengan insan, alam dengan leluhur.
Papan juga dimaknakan sebagai tempat orang berdiam, maka pemeilihan tempat/tanah harus diperhatikan.
Tanah-tanah terbaik.
Di dalam “almanac Dewi Sri 1976” tertulis, bahwa rumah yang baik harus berdiri di tanah yang baik. Atau sebaliknya, di atas tanah yang baik harus berdiri rumah yang baik.
Tentunya hala ini mengkondisi bahwa rumah dan tanah hatus memiliki pertimbangan ideal.
Terdapat 6 jenis tanah yang baik menurut primbon Jawa; 1. Gasik, yaitu tanah yang tidak berlumpur dalam musim hujan dan tidak ‘nelo’ [belah] pada musim kemarau. 2. Eloh, yaitu tanah yang gemuk, dan struktur tanah ini produktif untuk tanaman. 3.Njujugan, tanah yang letaknya strategis, sehingga bangunan di atasnya akan memilki dampak optimistic. 4. Reja, yaitu pada tempat yang ramai, misalnya dipinggir jalan yang besar, dekat persilangan kutub-kutub jalan dan dikenal, 5.Ayem, yakni tetnteram; dan biasanya suasana demikian berpengarus besar terhadap iklim-cuacanya. 6. Lempar, yaitu tanah nan luas dan rata.
Primbon yang lain memmuat juga tanah yang disebut ideal yakni:
  1. Siti Arjuna Wiwaha
  2. Siti Langu Purwala
  3. Siti Sosong Buwana
  4. Siti Bojanalaya
  5. Siti Tega warna
  6. Siti Sri Kamumule
  7. Siti Bathari
  8. Siti Manikmaya
  9. Siti Bathara

[Dalam posting ini tidak mungkin kami ungkap seluruhnya, misalnya bentuk-bentuk rumah Jawa, Falsafah Tri Hita Karana, Gradasi rumah dan Preferensinya]

Thursday, June 26, 2008

KEPEMIMPINAN JAWA, WAWAN SUSETYA

Kadang orang memberikan kata minor terhadap sebuah khasanah budaya, apalagi ketika zaman baru melindas-lindas, seakan turut arus mengubur budaya. Teknologi sering didambakan, bahkan membuat seorang-orang mania terhadap teknologi, inilah sumbu lahirnya technomania. Sebuah jembatan baru, dan makna baru bagi kehidupan, ketika orang dapat menyambungkan budaya dengan temuan baru. Karena budaya mampu merawat eksistensi manusia, dan meneropong kehadiran teknologi sebagai perangkat yang meringankan beban berat manusia.
Kini ternyata teknologi diterima tanpa sebuah filter budaya, sehingga dampaknya membuat orang terlena terhadap budayanya, dan kelak akan menerima sebuah kenyataan hilangnya sebuah eksistensi hakiki.
Pola hubungan bermasyarakat juga tersentuh kehadiran teknologi, mulai pola interakasi hingga penerapan kepemimpian didalam masyarakat. Kepemimpinan berubah total, dan tidak disandarkan lagi kepada nilai-nilai kemanusian. Pola kepemimpinan seharusnya dinuansai oleh horizon humanisme, namun saat ini justru memasuki ruang dehumanisasi.
Oleh karenanya pembelajaran kepemimpinan perlu daur-ulang, ajaran kepemimpinan adiluhung dari moyang kita.
Joglo menemukan buku tentang kepemimpinan yang dikreasi dengan kemasan sederhana, namun syarat makna. Wawan Susetya kreator buku adalah seorang-orang yang berkutat dalam dunia perbukuan dan memiliki citarasa budaya Jawa dengan muatan Islamik. Buku yang dikreasi kali kini sudah melebih jari tangan plus jari kaki manusia, dan secara pelahan akan ditebarkan di altar Joglo ini. Untuk kesempatan pertama akan di kupas karyanya yang bertajuk. Kepimpinan Jawa
Detail Buku :
JUDUL : Kepemimpinan Jawa
PENULIS : Wawan Susetya
PENERBIT: Narasi. Jl. Irian Jaya D-24, Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292. Telp. [0274] 7103084.
CETAKAN: I- 2007
ISBN : 979-168-029-9
HALAMAN: 144
Buku ini syarat muatan, mulai ilmu “hasta brata” sebagai kunci sukses kepemimpinan raja-raja ketika itu, hingga sikap yang harus dijauhi sebagai seorang kesatria. “kepemipinan ala punakawan, juga dikupas tuntas dalam buku ini. Disamping itu juga dibentangkan pola kepemipinan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, serta beberapa model kepemimpinan Metafisika Ala Kiai kholil yang menurut penulis buku ini masih dalam kawasan kepemimpinan Jawa. Tentunya tidak semua yang ada didalam buku ini akan diunduh. Kurang lebih sekitar 4 pokok pikiran yang akan dibentangkan di altar ini.
Adapun yang dibentang adalah:
  1. Lima “Dharmaning Satriya’
  2. Sikap yang seharusnya di jauhi oleh seorang kasatria:
  • adigang-adigung-adiguna,
  • sifat, nistha, dusta, .....
  • “5M” Kiat pemimpin: Mulat, Milala, Miluta, Palidarma, dan Palimarma [Fokus bahasan: “bener Kang Sejati”, “ngelmu Tuwa’, “ngelmu padi”]

MENJAUHI SIKAP “ADIGANG-ADIGUNG-ADIGUNA”
Dalam buku ini dibentangkan, ketika Sri Mangkunegara IV sebagaimana dalam Serat Wulang Reh, memberikan nasihat agar para putra-wayah-nya menjauhi sikap yang sangat arogan, yakni “adigang—adigung-adiguna
Adigang: digambarkan seperti seekor kidang [rusa] yakni yang mengandalkan kebat-lumpt [kelicahannya].
Makna dalamnya, jangan mengandalkan kedudukannya sebagai putra raja, lantas merasa berbangga diri.
Adigung: digambarkan seperti liman [gajah]; yakni mengandal kekuatan tinggi dan besarnya. Jangan mengandalkan kepandaian, “di atas langit masih ada langit”
Adiguna: digambarkan seperi sawer [ular]; yakni mengandalkan bisa-nya yang beracun dan mematikan!, Jangan mengandalkan keberanian, tetapi setelah dihadapi, ternyata ia malah cengengesan [tertawa-tawa]
………Untuk mengantisipasi hal itu, Sri Mangkunegara IV juga mewanti-wanti agar orang hidup selalu berpegang pada tiga rambu-rambu, yakni rereh [sabar, mengekang diri ], ririh [tidak tergesa-gesa, pelahan-pelahan tapi pasti], ngati-ati berhati-hati

Kemudian juga ditambahkan rambu-rambu lain, yakni:
Pertama, jangan memuji diri sendiri
Kedua, jangan mencela atau memuji orang lain secara berlebihan
Ketiga, jangan terlalu mencela atau mengkritik pekerjaan orang dan janganlah sampai ngrasani[membicarakan orang lain]

SIFAT BURUK DALAM KESEHARIAN [Seno Sastroamidjojo] (1964)
Nista; yaitu, kecenderungan akan mengarah kepada perilaku menyimpang pada kawasan nilai-nilai yang rendah atau jahat
Dusta; yaitu, berwatak tak jujur, goroh, 'panjang tangan' [suka mencuri]
Dora, yaitu sofat mengingkari atau tidak menepati janji
Drengki; yaitu, suka berdengki, tamak dan cemar, suka panas hati, acuh tak acuh
Angkara murka; berwatak jahat dan cenderung menyebarkan kepada orang lain
Candhala; yaitu selalu mengingkari kejujuran dan selalu mengingkan kepunyaan orang lain; diklaim atau diakui sebagi miliknya.

“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui). Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji). Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.
Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya]. Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma [memberikan teladan/contoh]. Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma [memberikan maaf atau memaafkan]. Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.

Monday, June 23, 2008

ETIKA KEKUASAAN DALAM KEBUDAYAAN JAWA

Seorang-orang Guru Besar Institut Teknologi Bandung memberikan penilaian, bahwa kecenderungan saat ini sangat bertolak belakang dengan tempo dulu, bahkan memutar 180 derajat. Dulu rintisan untuk meniti menuju sebuah Negara kebangsaan terjadi karena perbedaan entitas justru menjadi kekuatan alias daya saing. Unity in deversity, “tan hana dharma mangrua”, berbeda-beda satu tetapi jua, “bhinneka tunggal ika”.
Kini sangat jauh berbeda, justru perbedaan dikreasi menjadi bumbu perpecahan, lewat pengaduk yang namanya kekerasan.
Jamunya adalah hadirnya etika menegara. Joglo ingin mempersembahkan sebuah buku dengan judul Neo Patriotisme, karena buku ini dipenuhi mutiara bijak yang menyelimuti etika kekuasaan.
Seorang-orang bernama HM. Nasruddin Anshory, CH berkreasi dengan mendokumentasikan pokok-pokok pikiran Jawa, yang telah berakar dan mampu menjadi teori yang agung ketika mengantar kejayaan Mojopahit. Tentunya ini sebuah cerminan untuk dapat dicermati, apakah saat ini masih memiliki relevansi.
Detil Buku
JUDUL: Neo Patriotisme—Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
PENULIS : HM.Nasruddin ANSHORIY CH
PENERBIT : PT LKIS Yogyakarta Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul. Jl. Parang Tritis Km, 4.4. Yogyakarta. Telp: [0274] 387194, 7472110. E-mail: elkis@indosat.net.id
CETAKAN: I Mei 2008
HALAMAN: xviii + 222 halaman; 21 x 14,5 cm
ISBN: 978-979-1283-670
Gajah mada mengamalkan ajaran Prabu Arjuns Sasrabahu dalam pewayangan yang merumuskan kepemimpinan yang dikenal dengan panca titi darmaning prabu atau lima kewajiban sang pemimpin, yang terdiri dari:
  1. Handayani Hanyakra Purana
    Seorang pemimpin senantiasa memberikan dorongan motivasi, dan kesempatan bagai generasi mudanya atau anggotanya untuk melangkah ke depan tanpa ragu-ragu
  2. Nadya Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya senantisa berkonsilidasi memberikan bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah untuk mufakat yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
  3. Ngarsa Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan suri teladan bagi masyarakatnya
  4. Nir bala wikara
    Seorang pemimpin tidaklah selalu menggunkan kekuatan atau kekuasaan di dalam mengalahkan musuh-musuh atau saingan politiknya, Meskipun demikian, berusaha menggunakan pendekatan pikiran, lobi sehuingga dapat menyadarkan dan disegani pesaing-peasainnya.
  5. Ngarsa dana upaya
    Pemimpin sebagai seorang ksatria senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, materi, pikiran, bahkan jiwanya sekalipun untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

KAMULYANING NERPATI CATUR
Kamulyaning Nerpati Catur adalah empat sifat utama bagi seorang pemimpin/negarawan, yaitu:

  1. Jalma Sulaksana:
    Seorang pemimpin hendaknya memiliki.menguasai ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu pengetahuan agama atau spitual secara teori dan praktik
  2. Praja sulaksana:
    Mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan/rakyat dan berusaha mengadakan perbaikan kondisi masyarakat [catur paramita: maitiri, karuna, mudita, dan upeksa]
  3. Wiya Sulaksana:
    Mempunyai keberanian untuk meneggakan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani karena benar dan takut karena salah
  4. Wibawa Sulaksana:
    Memiliki kewibawaan terhadap bawahan/rakyat sehingga setiap perintahnya dapat dilaksanakan dan program, yang direncanakan dapat terrealisasi.

Dengan permintaan maaf, joglo tetap menjujung paugeran bahwa posting tidak dapat dilakukan semua (100%), karena akan melanggar etika karya.
CATUR PRAJA WICAKSANA
Catur Praja Wicaksana adalah empat sifat dan tindakan yang bijaksa yang hendaknya dilakukan oleh seorang pemimpin negarawan, yaitu:

  1. Sama
    Selalu waspada dan siap siaga untuk menghadapi segala ancaman musuh baik yang dating dari dalam mamun dari luar yang merong-rong kewibawaan pemimpin yang sah
  2. Beda
    Memberikan perlakukan hokum/peraturan bagi bawahan/rakyat sehingga tercipta kedisiplinan dan tata tertib dalam masyarakat [penegakan supremasi hukum]
  3. Dana
    Mengutamakan sandang, pangan, pendidikan, dan papan guna menunjang kesejahteraan/kemakmuran bawahan/rakyat serta memberikan penghargaan bagi warga yang berprestasi. Memberikan upah/gaji bagi para pekerja sebagai bals jasa dari pekerjaan yang dibebankan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar dapat mencukupi kehidupan keluarga
  4. Danda
    Menghukum dengan adil kepada semua yang berbuat salah/melanggar hokum sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya

SAD GUNA UPYA

Sad Guna Upaya berarti enam macam upya luhur yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin. Ajaran ini terdapat dalam serta Niti Sastra yang memuat beberapa hal berikut:

  1. Sidi wasesa
    Pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menjalin persahabatan dengan rakyat, sesama, dan Negara tetangga
  2. Wigraha Wasesa
    Kemampuan untuk memilah-milah persoalan dan mampu untuk mempertahankan hubungan baik
  3. Wibawa Wasesa
    Pemimpin memliki kewibawaan atau disegani baik oleh rakyat, Negara tetangga, maupun musuh-musuhnya
  4. Winarya Wasesa
    Cakap dan bijak dalam mempin sehingga memuaskan semua pihak
  5. Gasraya Wasesa
    Kemampuan untuk menghadapi mmusuh yang kuat dan tangguh dengan menggunkan startegi/muslihat dalam berdeplomasi atau perang
  6. Stana Wasesa
    Dapat menjaga hubungan dan perdamaian dengan baik dan memprioritaskan tentaranya untuk menjaga kedaulatan negra dan menjaga perdamaian serta menghindari peperangan.

Masih banyak khasanah kebudayaan yang dijadikan cermin, dan tidak mungkin kami muat secara lengkap, untuk memenuhi etika joglo ini, yang tidak ingin menjadi pencundang bagi penerbit maupun penulisnya.

Kahsanah budaya itu antara lain:

  • Panca Tata Upaya [lima macam upaya yang harus dilakukan seorang birokrat dalam menyelesaikan segenap persoalan] (maya tata upaya, upeksa tata upaya, indera jala wisaya, wikrama wisaya, lokika wisaya)
  • Tri Jana Upaya [tiga macam cara/upaya bagi seorang pemimpin untuk menghubungkan atau mendekatkan dirin dengan masyarakat yang dipimpin (rupa upaya, wamsa upaya, guna upaya)
  • Ajaran Sad Guna weweka [terdapatenam macam musuh di dalam diri manusia yang harus dihilangkan dan dimusnahkan] ( kama/hawa nafsu, loba/tamak-rakus, kroda/marah, moha/kebingungan, mada/mabuk, masarya/ irihati)
  • Sad paramuka [prinsip kesucian Gajah Mada, dalam melihat perilaku enam pembunuhan yang kejam] ( Agnida /suka membakar milik orang lain, wisada/suka meracun, atarwa/menggunkan ilmu hitam, sastraghna/mengamuk, dratikrama/suka memperkosa, raja pisuna /suka menfitnah)

Sunday, April 20, 2008

KONSEP KEPEMIMPINAN JAWA

[Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata]
Kepemimpinan menurut budaya Jawa bentuk dan konsepnya multi varian, bahkan setiap genre pasti memiliki corak yang berbeda. Kendatipun demikian, konsep-konsep tersebut arahnya menuju sebuah paradigma keseimbangan [equilibrium].
Dikaitkan dengan sastra Jawa, banyak konsep kepemimpinan yang dicipta, karena dalam sastra Jawa, penuh dengan keteladanan yang diwujudkan sebagai bentuk ajaran.
Berikut beberapa karya sastra Jawa yang memuat ajaran pemerintahan dan kepemimpinan, antara lain:


  • Serat Rama karya R.Ng. Jasadipoera
  • Serta Pustaka Raja Madya karya R.Ng. Yasadipura II,
  • Serat Paniti Praja
  • Serat Wulang Reh karya Paku Buwana IV,
  • Serat Wedhatama karya Mangku Negara VII
  • Serat Laksitaraja karya Mangku Negara VII

Untuk kali ini Joglo mengetengahkan Buku Konsep Kepimpinan Jawa, yang merupakan hasil penelitian, Dra. Suyani, M.Hum. Karya tersebut dikemas dalam bentuk buku saku, dengan Editor Salamun.

Detil Buku:
JUDUL : Konsep Kepemimpinan Jawa [Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata]
PENGARANG : Drs. Suyami,M.Hum
PENERBIT: KEPEL PRESS Yogyakarta. Jl. Kalimantan, Purwosari, Sinduadi, Mlati, Sleman Yogyakarta. Telp. [0274] 7470601 Hp: 081 227 10912. E-mail: kepelcom@yahoo.com
ISBN : 978-979-3075-25-9
CETAKAN : I. 2008

Tesis Suyami ini hadir karena adanya refleksi yang dilakukan, ketika kesadaranya melihat fenomena yang terjadi saat ini. Menurutnya saat ini terjadi krisis kepemimpinan. Dari krisis inilah, Konsep kempimpinan Jawa akan digunakan untuk meneropong dimensi ideal, hubungan antara Raja, negara dan rakyat. Pola hubungan inilah diharapkan agar tercapainya sebuah tatanan masyarakat yang, “tata tentrem kerta raharja”. Lingkup penelitian ini, dibatasi hanya dalam pencermatan sebuah karya sastra, yakni, serat Rama karya R.Ng. Jasadipoera II. Dalam serat ini terdapat dua ajaran.
Ajaran pertama adalah “sastra cetha” dan “astha brata”
Pemilihan Serat Rama ini, menurut penulisnya, karena dalam Serat Rama terdapat dua ajaran kepemipinan, yang berbeda eruntukkannya. Serat Rama ini merupakan Naskah yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1925. Naskah ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf latin
AJARAN KEPEMIMPINAN DALAM SASTRA CETHA:
Dalam sastra cetha, Rama mengajarkan kepada Bharata apabila menjadi raja haruslah memperhatikan”paugeran” yang dinamakan Sastra Cetha. Perjalan sejarah mencatat bahwa Sastra Cetha telah lama menjadi pegangan bagi para raja utama, ketika memegang tampuk kepemimpinan. Inti ajaran Sastra Cetha adalah bahwa seorang raja harus mampu dan dapat memahami tiga tingkatan nilai perbuatan, yaitu “nistha” [hina], “madya”[sedang], dan “utama” [terbaik].
Perbuatan yang nistha harus benar-benar “dihindari”, jangan sampai menyentuh. Perbuatan madya cukuplah dimengerti, sedangkan perbuatan yang utama harus diusahakan untuk dilaksanakan.
Dalam sastra cetha disebutkan ada lima macam perbuatan yang membahayakan dan harus dihindarkan dari setiap orang yakni:



  1. pencuri
  2. pencuri wanita
  3. penyamun
  4. penjudi dan penjahat
  5. penjilat..

Dalam tesis Suyami, penjilat diuraikan sebagai berikut:
Ciri-ciri seorang penjilat adalah orang yang merasa menjadi kepercayaan raja, yaitu orang yang merasa hanya dirinyalah yang paling dekat dan dipercaya raja. Lupa pada kenyataan bahwa raja itu milik orang banyak.
Teks Ajaran Sastra Cetha terdapat dalam Pupuh V MIJIL, dan Pupuh VI DHANDHANGGULA

ASTHA BRATA:
Kata astha brata artinya delapan macam kebajikan. Ajaran tersebut diberikan oleh Rama kepada Wibisana pada saat akan diangkat menjadi raja kerajaan Alengka menggantikan kakandanya, yaitu Prabu Rahwana. Di sini Wibisana disuruh melindungi dan memulihkan kesejahteraan Kerajaan Alengka yang telah hancur karena perbuatan prabu Rahwana.
Teks Ajaran Asta Brata terdapat dalam Pupuh LXXVII PANGKUR, Dan Pupuh LXXVIII Mijil.
Dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan alengka tersebut Wibisana dinasehatkan agar mencotoh kebajikan delapan dewa, yaitu Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama.
DEWA INDRA :
Ia mempunyai sifat perwatakan pengasih, penyayang, dan cinta kepada seni keindahan. Apabila “tiwikrama” [berubah wujud] ia mempunyai perbawa halilintar. Ia seringkali diutus untuk memberikan pahala kepada seorang-orang yang mendapat anugerah. [hlm:171]
DEWA SURYA
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Surya sangat baik budi pekertinya. Dalam segala perintahnya selalu menyenagkan. Selalu berusaha menyejukkan perasaan warga warga. Dalam memerintah tidak pernah mengutamakan dan menggunakan kekerasan, melainkan sangat halus dan selalu memahmi keinginan warga sehingga para warga tidak terasa kalau dibawa ke arah kebaikan. Dia tidak pernah marah juga tidak pernah tergesa-gesa. Dia bisa mempengaruhi hati musush dengan tanpa rasa.
DEWA BAYU
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Bayu selalu berusaha mengintai mengethui jalan pikiran setiap orang. Usahanya dilakukan tanpa tyerlihat, ibarat tanpa jarak tanpa pertanda. Semua tingkah laku dan gerak gerik setiap orang, baik yang jahat maupunyang berhati mulia dapat diketahui. Ia selalu bisa memahami dan menghayati hati paran warganya.Kebutuhan warga selalu dipenuhi sehingga dalam pemerintahan dapat menyenangkan semua orang.
DEWA KUWERA
Bethara Kuwera sangat bakti kepada perikemanusiaan. Ia seringkali memberi petunjuk, fatwa, pahala, dan perl.indungan serta pertolongan kepada umat di arcapada [dunia]. Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Kuwera senantiasa memberikan kesenangan, baik dalam hal makan maupun kesenangan yang lainnya. Dia memegang teguh kebenaran. Dia selalau mengajarkan tentang kemuliaan dan selalu mempelajari kepribadian yang benar. [hlm:121]
DEWA BARUNA
Dalam, asta brata disebutkan sifatnya yang senantiasa mengenakan senjata. Dia bisa mengusahakan keselamatan dengan berpegang pada kata hati. Semua masalah dipandang dengan penuh hati-hati, serta semua ilmu dan kepandaian berusaha dipelajari. Dia sangat tidak suka, sedih, dan jijik jika melihat tindak asusila dan kejahatan. Oleh karena itu dia selalu berusaha menguasai semua orang yang berbuat jahat untuk diupayakan agar berubah menjadi orang baik-baik.
DEWA YAMA
Dalam asta brta disebutjkan sufat Bathara Yana memberantas semua perbuatan jahat, menghancurkan semua orang yang berbuat jahat di kerajaan. Tidak menghiraukan sanak saudara, apabila jahat tetap dimusnahkan. Semua perbuatan yang tidak baik dicari dan diporak porandakan. Dalam menjaga kerajaan agar sejahtera diusahakan dengan memberantas tuntas semua tindak kejahatan.
DEWA CANDRA
Bersifat pemaaf. Agar seisi kerajaan merasa enak, dalam memrintah selalu dengan perkataan yang harus dan manis. Roman mekanya selalu penuh kelembutan. Dalam segala tindakannya selalu menyenangkan. Dia berisaha memlihara dunia dengan hanya memerintahkan yang baik. Tulus rendah hati. [hlm: 124]
DEWA BRAMA:
Bhatar Brama selalu berusaha mencarikan makan untuk seluruh lapisan rakyat, agar semua warga mencitai negaranya. Bathara Brama bisa mengerti dan memahami kemampuan rakyatnya dan dapat bekerjasama dengan rakyat untuk menghadapi musuh. [hlm: 125]

KONSEP KEPEMIMPINAN YANG RESIPROKAL
Tesis ini mencermati bahwa konsep kepemimpinan Jawa, sejak lama memiliki pola yang “resiprokal” atau hubungan timbal balik yang mesra antara pemimpin dan yang dipimpin.
Resiprokal itu saling memberi, saling menerima.
Dalam sastra cetha disebutkan bahwa kedudukan raja dan prajurit adalah ibarat singa dan hutan. Bala tentara ibarat hutan, sedangkan rajanya ibarat singa. Keselamatan singa bisa terjaga manakala hutannya lebat. Inilah yang dapat disimbolkan sebagai makna “saling”.
PERANAN DAN KEDUDUKAN RAJA BAGI NEGARA DAN RAKYAT.
Dalam buku ini digambarkan bahwa kedudukan raja pada rakyat meliputi:


  1. Raja adalah panutan dan teladan
  2. Raja adalah panutan dan pemimpin
  3. Raja adalah pengayom dan pelindung
  4. Raja adalah pelindung pertahanan dan ketahanan negara
  5. Raja adalah pemelihara kesejahteraan rakyat.

Dalam buku ini juga menguraikan tentang:
Peranan dan kedudukan negara bagi raja dan rakyatanya, serta peranan dan kedudukan rakyat bagi negara dan negaranya. Di sinilah yang menampakkan bahwa komponen negara, raja dan rakyat memilki hubungan yang resiprokal.
[Wusana kata: Model kepemimpinan yang mengedepankan keseimbangan [ ] merupakan sebuah model yang di junjung tinggi di tanah Jawa. Sebuah kerajaan akan tercipta dan memiliki perjalanan sejarah yang sejahtera “tata tentrem kerta raharja”, manakala seorang raja mampu memegang teguh keseimbangan, dan mengkondisikan pada rakyatnya. Dalam mengembangkan ajaran kepemimpinan selau dikemas dalam wadah seni”art”, dan simbol-simbol yang indah,dan kadang puitis. Dalam memberikan ajaran biasanya dilakukan dalam suasana yang kondusif, dalam beberapa hal dicontohkan fragmen bentuk kepemimpinan melalui ceritera pewayangan. Harjuno Sosrobahu, adalah fragmen yang menggambarkan ajaran kepemipinan. Untuk mendalam konsep kepemimpinan Jawa ini, Joglo masih memiliki literature lainhnya, dan akan di Posting kemudian.

  • Javanese Wisdom Berpikir dan Berjiwa Besar [digali dari warisan khasanah budaya Jawa Serat Wulang Reh Karya Sri Paku Buwono IV] oleh Agung Webe.
  • Dari Ilmu Hastha Brata sampai Sastra Jendra Hayuningrat oleh Wawan Susetya
  • Kepemimpinan Jawa oleh Wawas Susetya. ]

Monday, March 3, 2008

LAHIRNYA BLOG "JOGLO-JAVANOLOGI"

Orang Jawa hakikatnya suka membungkus ilmu pengetahuan dengan simbul-simbul, bahkan cenderung berlapis-lapis. Hanya seorang-orang yang “waskita” [kecermatannya tinggi], mampu menerjemahkan maksud yang tersirat, atau dengan kata lain “tahu apa yang sebenarnya tersimpan”. Contoh konkret ketika orang Jawa memberikan nama kepada anaknya, dalam nama tersebut terkandung pengertian dan harapan, yang berjuta makna. Bahkan nama wilayah, tempat patilasan/situs-situs, bangunan/landmark, atau nama-nama benda pusaka.
Dari dimensi sosiologis, makna nama wilayah, tempat patilasan/situs-situs, bangunan/landmark, atau nama-nama benda pusaka, nama desa, nama kota, tersebut dapat diterjemahakan.
Biasanya simbol-simbol tersebut diwujudkan dalam kalimat indah atau kalimat puitis, filosopis. Kerap disebut symbol yang sarat dengan keindahan puitis, dan keindahan filosofis.Inilah yang membangkitkan saya untuk membuka blog, yang kami beri nama JOGLO-JAVANOLOGI.

Tentunya ada maksud terselubung, disamping membuka blog, ingin menciptakan ruang dialog, sehingga memperoleh manfaat, serta menyerap khasanah yang luar biasa. Ada sesuatu yang harus kami kedepankan, bahwa kami sangat awan terhadap hal-hal yang terkait Javanologi. Oleh karena yang saya paparkan hanyalah berupa pengulangan informasi. Misalnya info dari buku-buku, atau dialog-dialog dengan sesepuh, atau orang yang pinilih dan waskita.

SESANTI blog ini adalah Sura Dira Jayaningrat, lebur dinimg pangastuti

Warto Selaras

Google