Thursday, August 7, 2008

REORIENTASI DAN REVITALISASI :PANDANGAN HIDUP JAWA.

Orang sering mencirikan budaya Jawa itu penuh toleran dan akomodatif, oleh karenanya Jawa tidak pernah memiliki sikap yang serta merta menolak, namun lebih dari itu, segalam sikap akan melalui proses pengedapan. Termasuk pula dalam aspek kehidupan religius. Jawa sangat erat dengan “sinkretisme” yakni pola laku mengkombinasikan sebuah keyakinan. Oleh karenanya ditengarai bahwa pandangan budaya Jawa itu selalu ditandai hal-hal berikut:

  • Religius
  • Non doktriner
  • Toleransi
  • Akomodatif
  • Optimistik

Akhir seorang-orang bernama Suyamto, Insinyur yang saat itu sebgai Ketua Umum Yayasan Jatidiri, menuangkan gagasannya setelah melewati penghayatan apa yang dilihat dan didengar, terkait dengan budaya Jawa. Gagasan ini, kini telah menjadi buku, dengan mengmbil judul Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Sesunggah nya gasaan awal ini berawal dari sebuah permohonan ceramah di hadapan 2000 anggota PERMADANI—[Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia] yang sedang memperingati hari ulang tahun kedelapan [sewindu].
Buku ini adalah rekaman perenungan tenteng berbagai aspek kebudayaan Jawa, sebagai tindak lanjut tanggapan-tanggapan atas makalah pada Konggres Kebudayaan Nasional di Jakarta, tanggal 29 Oktober sampai 3 Nopember 1991, terutama mengenai “tantularisme” dan kaitannya dengan sikretisme Jawa.
Data Buku:
JUDUL: Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa
PENULIS : Sujamto, Ir
PENERBIT : Dahara Prize. Jl. Dorang 7 Phone 23518 Semarang.
CETAKAN : II Edisi revisi Nopember 1992
TEBAL : 127 Hlm

Gagasan awal buku ini, ingin melihat lebih dalam tentang pola laku itu, bahkan mengejawantahkan terminologi baru paham Jawa yang dirasa lebih tepat, yakni “Tantularisme”. Orang tentunya akan dingatkan oleh pemikiran ini karena “Tantular” adalah seorang-orang empu yang memiliki ketajaman pikir dan kearifan.
Buku ini membedakan, antara “tantularisme” dan "sikretisme Jawa", kendatipun memiliki kedekatan
Kita ketuhui saat ini penggunaan terminology sikretisme dalam ranah budaya Jawa, sangat deras. Namun acapkali memiliki multi tafsir. Mulai dari istilah ‘Sinkretisme”, “sinkretisme agama”, atau “sikretisme Jawa” untuk menunjukkan gejala atau kecenderungan yang menonjol dalam religiositas Jawa. Sisi lain istilahn ini sebagai penggantinya dipadankan dengan “mosaic” , “Coalition”, “the religion of Java” atau “agama di Jawa, atau sekedar istilah “percampuran” atau “vermenging” atau “agami Jawi"

SINKRETISME:Jika merujuk istilah-istilah yang sedang berkembang terkait dengan sinkretisme, seperti vermenging, blending, mosaic, amalgamation dan lain-lain itu jelas lebih berkonotasi pada proses dan bentuk ketimbang pada semangat yang mendasari proses itu. Sinkretisme memang dapat kita pandang dari segi proses dan bentuk. Tetapi sinkretisme adalah juga semangat. Dan terhadap gejala yang terjadi dalam religiositas Jawa ini, barangkali kita akan memperoleh gambaran yang lebih mendekati kenyataan kalau kita melihatnya dari semangat. Dilihat dari segi ini, akan sangat jelas bahwa semangat yang ada dalam religiositas Jawa itu yang menonjol bukanlah semangat sikretisme. Bukan semangat untuk membentuk sesuatu aliran atau system kepercayaan ataupun agama yang ada. Semangat yang amat menonjol adalah toleransi yang hampir-hampir tanpa batas, yang dilandasi oleh kayakinan orang Jawa pada umumnya bahwa “sedayaagami punika sami” [semua agama itu baik]
TANTULARISME:
Arus utama yang cukup menonjol sejak zaman dahulu adalah semangat yang menghormati semuaagama, semangat yang tidak memandang hanya agama dan kepercayaan sendiri yang benar, semangat yang bersedia mengakui kebenaran hakiki, dari mana pun sumbernya, emangat yanag memandang agama lain hanya merupakan jalan lain menuju tujuan yang sama, semangat yang tercakup dalam ungkapan Empu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Semangat ini, untuk menghormati Empu Tantular, dinamakan Tantularisme

PERBEDAAN TANTULARISME DAN SINKRETISME
Melihat perbedaan tantularisme dengan sikretisme hanya dari proses atau wujud gejalanya, barangkali memang agak sulit. Persamaan dan perbedaan antara sikretisme dengan tantularisme pernah dibedakan oleh penulis buku ini, dengan ungkapan bahasa jawa:
yen dinulu mirip rupane, lamun ginigit beda rasane” [kalau dilihat mirip rupanya, kalau digigt beda rasanya]
Dilihat sepintas dari luar, wujudnya sering mirip, tetapi kalu dihayati seksama dari dalam, akan nyata bedanya. Pokok-pokok perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:

  1. Sinkretisme berangkat dari keinginan untuk memadukan dua [atau lebih] system keyakinan, kepercayaan atau agama menjadi satu system baru yang unsure-unsurnya berasal dari sistem-sistem lama tersebut. Sedangkan tantulisme berangkat darti keyakinan bahwa system-sistem itu adalah jalan-jalan yang berbeda menuju kepda tujuan yang sama, yaitu Tuhan
  2. Hasil akhir Sinkretisme adalah terbentuknya sustu system agama atau kepercayaan baru, sedangkan tantularisme tidak dan tidak ingin membentuk agama ataupun system kepercayaan baru
  3. Sinkretisme tidak dapat melepaskan dirinya dari sektarianisme dan disadari atau tidak, akan beranggapan bahwa “system agama atua kepercayaannya itulah yang paling benar”, kare merupakan penggabungan dari unsur-unsur pilihan dari berbagai system yang ada. Tantularisme sama sekali bebas dari sektarianisme dan eksklusifisme, karena memang tidak membentuk “wadah” tersendiri dan tidak ingin menciptakan “pagar” atau pun “kurungan” yang baru. Kebenaran itu bersifat [meminjam istilah Abdurrahman Wahid] lintas batas. Segala yang universal itu bersifat lintas batas
  4. Sinkretisme bersifat divergen sedang tantularisme bersifat konvergen
  5. Sinkretisme tidak dapat melepaskan diri dari kenisbian pandangan tentang kebenaran, sedangkan tantularism,e bertitik tolak dari pandangan tan han dharma mangrwa, kebenaran hakiki itu bersifat tunggal dan universal. Di manapun ia berada, kebenaran adalah tetap kebenaran. Diakui atau pun tidak
  6. Sinkretisme yang menghasilkan system agama dan kepercayaan baru itu akhirnya juga menciptakan ajaran-ajaran bartu dan doktrin-doktrin baru. Tantularisme tidak menciptakan ajaran baru dan sepenuhnya bersifat non doktriner
  7. Sesuai dengan sifatnya yang sektaris, lingkup wawasamn Sinkretis, lingkup wawasan sinkretisme biasanya terbatas [contoh : aliran-aliran yang mengikat diri pada sifat kejawen], sedang lingkup wawasan tantularisme adalah universal, bebas dari dimensi ruang dan waktu.

Tuesday, July 15, 2008

SERAT JAYABAYA

Kita pernah mengenail Jhon Nisbit, seorang futurolog yang meneropong “Megatrand 2000”, kemudian Avlin Toffler, adalah manusia canggih abad ini, piawai melihat masa depan, dengan teropong rasionalnya. Pemikiranya saat ini diacu dunia, merupakan referensi setiap seminar, bahkan digunakan sebagai telaah renca masa depan siapa saja.
Bagaimana dengan jagad budaya Jawa ?, Ternyata Jawa memiliki kekayaan yang yang sama terkait dengan kemampuan meneropong masa depan. Justru Jawa telah mendahului, kira kira diabad 12 naluri itu telah teruji. Jawa mampu melahiran pandangan Jernih dan Bijak, itu semua eterdokumentasi dalam “serat Jaya Baya”. Ketika itu melalui perenungan spiritual, dibukalah cakrawala dunia, bahkan seorang-orang Prabu Jayabaya telah mencapai “Maqam ruhani”. Dia adalah manusia yang dibekali dengan kekuatan ruhani, dan mengkuak tanda-tanda Zaman. Hasil perenungannya kini terdokumentasi pada Serat Jangka jayabaya dan Kitab Musasar.
Namun yang menjadi Kendal kita, adalah kemampuan memahaminya, karena karya-karya indah itu ditulis dalam bahasa simbolik. Untuk memahaminya diperlukan tingkatan pencermatan yang tinggi, dan itu pun harus didukung daya intepretasi yang tinggi.
Detil Buku:
JUDUL: Serat Jayabaya
PENULIS : M.Hariwijaya & Ratih Sarwiyono
PENERBIT: Media Wacana. Jl. Gambiran UH/271 Yogyakarta 55161. Telp. 087838230821
CETAKAN: I-V penerbit Niagara 2004. Edisi Revisi Juli 2008
ISBN :978-979-99940-4-2
HALAMAN: 145 x 210. 136 hlm

Buku ini menguraikan ramalan Jayabaya pada jaman Kaliyuga atau jaman kerusakan, di mana terjadi jaman yang nilai-nilai sosialnya menjadi serba terbalik, dan tatana alam menjadi rusak.
Kaliyuga bagi seorang-orang yang memahami sejarah secara spekulatif adalah suatu siklus sejarah. Setelah jaman ini akan hadir jaman Kretayuga atau ada yang menyebutkan Kalakreta. Bahkan ada yang mengatakan, syarat memasuki jaman Kretayuga sekuensialnya harus melewati jaman Kaliyuga. Kretayuga adalah suatu jaman keemasan, jaman gemilang, jaman yang digambarkan oleh dhalang dengan kalimat gemah rimpah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.
Jayabaya, oleh rakyat Jawa diletakkan dalam jajaran Ratu Adil yang pernah memimpin tanah Jawa. Ia ditasbihkan bersala dari kalangan Wali Alllah.
Menurut teropong pikirannya, perjalana jaman Kaliyuga menuju jaman Kretayuga, akan ditandai munculnya Satria Piningit.
Dalam buku ini dipaparkan pula tujuh kepemimpinan Indonesia, antara lain:
  1. Satria Kinunjara Murwa Kuncara
  2. Satria Mukti Wibawa Kesandung Kesampar
  3. Satria Jinumput Sumela Atur
  4. Satria Lelana Tapa Ngrame
  5. Satria Piningit Hamong Tuwuh
  6. Satria Boyong Pambukaning Gapura
  7. Satria Pinandita Sinisihan Wahyu


Friday, July 11, 2008

MENYAMBUT SATU DASA WARSA PAGUYUBAN CAHYA BUWANA

NDerek Dawuh KAKI SEMAR
Zaman ini memungkinkan tertibnya pendokumentasiaan, melalui buku seorang-orang, atau organisasi akan lebih rapi terkait soal dokumentasi.
Sebuah dokumentasi yang amat berharga telah dibuat oleh sebuah Paguyuban Cahya Buana, yakni sebuah paguyuban penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku ini dibuat terkait dengan momenten organisasinya, yakni dalam rangka 1 Dasa Warsa Paguyuban Cahwa Buwana. Organisai ini memposisikan dirinya bukan oranisasai politik, dan akan “Nguri-uri Kebudayaan Jawi’ berdasarkan Pieulang dan Dhawuh Kaki Tunggul Sadba Jati Daya Among raga [Kaki-Semar]
Detil Buku:
JUDUL: nDerek Dawun KAKI SEMAR
PENULIS: Tjaroko HP. Teguh Pranomo
PENERBIT:Kuntul Press. Gombang, [Depan Puskemas], Tirtonadi, Mlati Sleman, Yogyakarta. HP. 08175423046
ISBN: 978-979-16502-8-1
CETAKAN: 2008
HALAMAN: Xl+262 hlm; 14x20 cm
Buku ini menjelaskan secara detil Jati diri Paguyuban Cahya Buwana, yang memposisikan sebagai organisasi non politik dan meletakkan ranah pengabdiannya dalam memetri nguri-uri naluri tatanan budaya Jawi “.
Seperti kata sambutan yang diberikan oleh salah satu penghayatnya, adalah seorang-orang penghayat yang masih belia, Ade Styawan Teguh Setyhyarso, mengatakan,
“Seharusnya hal ini menjadi cambuk bagi generasi muda agar lebih menyadari budaya sendiri, lebih arif dan bijaksana dalam neghargai warisan budaya leluhur yang generasi sebelum kita telah menjaganya secara turun temurun dan dengan susah payah. Apa jadinya bila Kejawen diaku keberadaanya oleh Negara lain …?!?!

Kejawen apa itu?. Menurut buku ini,
Kejawen adalah bukan agama, bukan sekte baru, bukan aliran sesat, tetapi kejawen adalah tatanan kehidupan yang selaras seimbang, baik dengan Tuhan Yang Maha Esa, leluhur, alam dan sesame manusia.
Kejawen adalah salah satu bentuk sederhana dari manusia untuk mengerti dan memahami dari mana manusia itu bersal [sangkan paraning dumadi] dank e mana manusia itu harus menyembah.
Buku ini juga mencantumkan visi, misi dan serta memuat lengkap anggaran dasarnya. Dalam menjalankan aktivitasnya buku ini juga mencatumkan secara lengkap tempat-tempat yang dapat digunakan untuk ritual. Tempat itu menyebar di seluruh Indonesia.

VISI :

Paguyuban “Cahya Buwana”
“Mamemayu Hayuning Bawana, yaitu Mewujudkan Keselarasan Alam Semesta dan Mempertahankan Keindahannya”

MISI:
Paguyuban “Cahya Buwana”

  • Menelusuri Tatanan dan Nilai-nilai Tradisional Kebudayaan Jawa
  • Mempertahankan Kelestarian Kebidayuaan Jawa dan Mengembangkannya Baik secara fisik maupun Spiritual
  • Mengembangkan Mandalagiri Srandil sebagai Tempat Suci

Kegiatan ritual Paguyuban “Cahya Buwana” meliputi:

  1. Sarasehan Agung Kemil Wage Malam Jumat Kliwon di Padepokan Agung manlagiri Srandil dan atu di petilasan Kaki Semar di Gunung Srandil
  2. Larungan sesaji kepada Kanjeng Ibu Ratu Kidul Sekaring Jagad, setiap hari jumat Kliwon pagi di Srandil, pantai Laut Selatan
  3. Peringatan Tahun Baru Jawa 1 Sura
  4. Hari Arwah setiap tanggal 4 April
  5. Hari Tumuruning Wahyu setiap tanggal 5 Agusutus
  6. Hari Ulang Tahun Paguyuban “Cahya Buwana” setiap tanggal 29 Nopember
    Melakukan ziarah dan atau napak tilas ke lokasi dan atau tempat sesuai petunjuk atau dhawuh beliau Kaki Semar

Buku ini juga membahas detil siapakah sebenarnya, Kaki Semar itu ? Dalam posting tidak diungkap secara lengkap, sebagai penghargaan karya penulisnya. Namun untuk piwulangnya dipaparkan sebagai berikut:

PIWULANG DAN DHAWUH-DHAWUH
1. Pemahaman kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi
2. Tatanan Paugeraning urip
3. Pemahaman mengenai “adil”
4. Pengertian nasib dan takdir
5. Pengertian kodrat lan apes
6. Pemahaman mengenai hidup
7. Pengertian akherat
8. Tata cara mengesthti [samadi]
9. Pengertian Aji mumpung
10. Pemahaman tentang tirakat atau rialat
11. Ramalan Jayabaya atau Jaman Edan
12. Pemahaman Hukum Alam
13. Hidup bermasyarakat atau urip bebrayan
14. Kiasan atau sanepa dari sesaji
15. Pemahaman sangkan paraning dumadi
16. Pemahaman manunggaling kawula lan Gusti
17. Pemahaman kasedan jati
18. Pemahaman mengenai “mampir ngombe”
19. Pemahaman mengenai ndonga
20. Pemahaman mengenai ati nurani
21. Pemahaman mengenai “karma”
22. Mengenai “lakum dinukum waliyadin

[catatan : mengenai piwulang atau dhawuh dari hal-hal di atas dapat dibaca pada buku Wedharan Dhawuh Kaki Semar edisi tahunan yang dfiterbitkan setiap awal tahun baru Jawa . Buku tersebut di cetak dan diterbitkan oleh paguyuban “Cahya Buwana”]

Thursday, July 10, 2008

DUNIA BATIN ORANG JAWA

Ternyata bangsa kita memiliki khasanah budaya yang dikagumi oleh banyak manusia manca negara. Tak kurang seorang-orang bernama Alexander Pushkin, sastrawan besar, penyair kelas dunia [1779-1837] sempat mengisahkan kembara “iamginernya tentang “Jawa’ dalam sebuah puisi terbaiknya yang berjudul Antiar.
Demikian pula dalam The Triumphant Love [1881] karya Ivan Turgenev, Jawa pernah mampir dibenaknya, terbukti dia mengkreasi karya besar dengan menggambarkan eksotisme Nusantara [termasuk Jawa] sebagai kawasan yang samar, misterius, ajaib.
Persoalannya, mungkin saat ini banyak orang jawa yang mulai melupakan pernik-pernik budaya Jawa kendati banyak orang di belahan benua lainnya “ngudi kaweruh Jawa” [sedang mencermati dengan seksama budaya Jawa]. Buku ini berusaha mendekatkan kembali orang, kepada budayanya, agae tidak kehilangan jati dirinya. “Wong Jawa lali Jawane” [orang Jawa yang tidak kenal lagi hakikat dirinya].
Semuanya telah ditinggalkan, dilupakan, halusnya dipinggirkan. Banyak orang Jawa yang mulai melupakan apa itu peribahasa. Apa yang disebut dengan paribasan, bebasan, saloka, pepindhan, sanepa, dan isbat. Akibatnya, tidak seorang-orang acapkali ditertawakan ketika berkata, atau mendengar kata “alon-alon waton kelakon”, “golek banyu apikulan warih, golek geni adedamar.
Buku ini ingin menjembatani, agar orang Jawa tidak kehilangan eksistensinya. Oleh karenanya buku ini mengetengahkan pandangan hidup, atau dunia batin orang Jawa dalam berbagai unen-unen. Dan dalam unen-unen itu terkandung hakikat budaya, sebuah kecermatan yang diinduksi dari laku orang orang jawa berabad-abad. Ini merupakan pundit-pundi khsanah Jawa.

Detil Buku
JUDUL: Dunia Batin Orang Jawa
PENULIS Iman Budhi Santosa
PENERBIT : RIAK-Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan. Jalan Mangkuyudan MJ III/216 Yogyakarta.
ISBN: 978-979-15832-8-5
CETAKAN : I April 2008
HALAMAN: Viii + 144

Sekelumit isi :

Secara bersamaan juga diposting di blog Bandar Kata Bijak, karena memiliki resonansi maksud yang sama]

Aja dumeh
Artinya: “jangan sok atau mentang-mentang”,
Terjemahan bebsanya adalah jangan suka memamerkan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina orang lain. Misalnya : aja dumeh sugih [jangan mentang-mentang kaya], dan menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang [ tidak dimiliki lagi]

Aja nggege mangsa
Artinya:”jangan memaksakan waktu”
Jangan memaksa memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak akan memuaskan. Misalnya, untuk mmendapatkan mangga yang manis perlu menunggu satu tahun. Apabila memetiknya kurang dari satu tahun pasti rasanya kecut [masam]

Aja ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton
Artinya: “jangan berbicara asal bicara, tetapi bicarah menggunkan landasan yang jelas.” Peringatan atau nasihat agar di dalam berbicara [berkomunikasi] perlu menggunkan tata-krama yang baik. Juga harus jelas apa yang akan disampaikan dan cara penyampaiannya supaya tidak menimpulkan salah faham bagi yang diajak bicara

Ana sethithik dipangan sethithik
Artinya::ada sedikit dimkan sedikit”
Salah satu semboyan wong cilik Jawa yang sangatv terkenal dalam menjalani tirakat [ascestisme] dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, missal sehari punya penghasilan seribu rupiah yang dipakai untuk hidup maksimal harus sembilan ratus rupiah. Dengan demikian, untuk bekal hidup esok hari amasih punya seratus rupiah

Becik ketitik, ala ketara
Artinya:”siapa berbuat baik akan terbukti [diakui], siapa berbuat buruk akan kelihatan sendiri”. Anjuran agar siapa pun jangan takut berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.

Bener luput, ala becik, begja cilaka. Mung saking badan priyangga
Artinya: “bener salah, baik buru, beruntung celaka, berasal dari badan sendiri.”Salah satu inti dari ajaran kejawen yang menyatakan bahwa apa yang diperoleh seorang –orang lebih merupakan hasil [kausalitas] dari perbuatannya sendiri; bukan semata-mata akibat [pengaruh] perbuatan orang lain.

[Wusana kata: Masih banyak unen-unen di buku ini kurang lebih 141 unen-unen, oleh karenanya layak buku ini sebagai pundi-pundi khasanah Jawa]


Monday, July 7, 2008

CITRA DIRI ORANG JAWA

Seorang-orang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian, manakala orang itu memiliki tingkatan komitmen yang tinggi terhadap budaya. Dengan kata lain “Widya Darma Budaya” itu tercermin pada sebuah “gegayuhan hayati” atau niatan insan untuk meningkatkan atau mempertebal rasa percaya diri (self confidence)
Gegayuhan hayati itu meliputi; Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila, apabila seorang-orang telah melengkapi dirinya dengan kriterium tersebut, berarti telah memasuki gambaran idial citra dirinya.
Sebuah buku yang sarat dengan makna dan memberikan uraian tentang Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila, sangat detil. Seorang-orang dinyatakan memasuki labirinnya idealitas itu, tidak hanya memenuhi secara minimal, dalam arti menyediakan/memenuhi, wisma, misalnya. Ternyata lebih dari itu.
Ketika orang dinyatakan telah mampu memiliki wisma, tentunya juga harus mengenali lebih dalam makna yang terkandung adalam “wisma” itu sendiri. Mulai dari makna filosofi, hingga makna pragmatignya.
Buku yang dikreasi Suryanto Sastroatmojo ini, membedah makna hingga akar-akarnya, ternyata idealitas yang tersimpan dari, Wisma, Wanita, Curiga, Turangga, Kukila , tidak hanya menyediakan namun terdapat “kata arif yang tersembunyi di balik kata itu”
Detil buku:
JUDUL : Citra diri Orang Jawa
PENULIS: Suryanto Sastroatmojo
PENERBIT: Narasi. Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292 Telp. 0274-7103084.
CETAKAN I-April 2006
ISBN: 979-7564-80-0
HALAMAN: viii+ 136 hlm. 13,5 x 19,5
WISMA:
Wisma dimaknakan sebagai papan, idealitasnya jika sebuah rumah tangga dijamin oleh tempat tinggal telah mencapai idialitas itu, dan citra diri seorang akan’ternamai”. Namun adapula yang memberikan simbolis sebagai kemapanan, atau seorang-orang yang telah mencapai pada tataran “establish
Buku ini sangat luarbiasa dalam mencermati wisma, mulai pemikiran harmonisasi hingga persenyawaan antara alam dengan zaman, alam dengan insan, alam dengan leluhur.
Papan juga dimaknakan sebagai tempat orang berdiam, maka pemeilihan tempat/tanah harus diperhatikan.
Tanah-tanah terbaik.
Di dalam “almanac Dewi Sri 1976” tertulis, bahwa rumah yang baik harus berdiri di tanah yang baik. Atau sebaliknya, di atas tanah yang baik harus berdiri rumah yang baik.
Tentunya hala ini mengkondisi bahwa rumah dan tanah hatus memiliki pertimbangan ideal.
Terdapat 6 jenis tanah yang baik menurut primbon Jawa; 1. Gasik, yaitu tanah yang tidak berlumpur dalam musim hujan dan tidak ‘nelo’ [belah] pada musim kemarau. 2. Eloh, yaitu tanah yang gemuk, dan struktur tanah ini produktif untuk tanaman. 3.Njujugan, tanah yang letaknya strategis, sehingga bangunan di atasnya akan memilki dampak optimistic. 4. Reja, yaitu pada tempat yang ramai, misalnya dipinggir jalan yang besar, dekat persilangan kutub-kutub jalan dan dikenal, 5.Ayem, yakni tetnteram; dan biasanya suasana demikian berpengarus besar terhadap iklim-cuacanya. 6. Lempar, yaitu tanah nan luas dan rata.
Primbon yang lain memmuat juga tanah yang disebut ideal yakni:
  1. Siti Arjuna Wiwaha
  2. Siti Langu Purwala
  3. Siti Sosong Buwana
  4. Siti Bojanalaya
  5. Siti Tega warna
  6. Siti Sri Kamumule
  7. Siti Bathari
  8. Siti Manikmaya
  9. Siti Bathara

[Dalam posting ini tidak mungkin kami ungkap seluruhnya, misalnya bentuk-bentuk rumah Jawa, Falsafah Tri Hita Karana, Gradasi rumah dan Preferensinya]

Thursday, June 26, 2008

KEPEMIMPINAN JAWA, WAWAN SUSETYA

Kadang orang memberikan kata minor terhadap sebuah khasanah budaya, apalagi ketika zaman baru melindas-lindas, seakan turut arus mengubur budaya. Teknologi sering didambakan, bahkan membuat seorang-orang mania terhadap teknologi, inilah sumbu lahirnya technomania. Sebuah jembatan baru, dan makna baru bagi kehidupan, ketika orang dapat menyambungkan budaya dengan temuan baru. Karena budaya mampu merawat eksistensi manusia, dan meneropong kehadiran teknologi sebagai perangkat yang meringankan beban berat manusia.
Kini ternyata teknologi diterima tanpa sebuah filter budaya, sehingga dampaknya membuat orang terlena terhadap budayanya, dan kelak akan menerima sebuah kenyataan hilangnya sebuah eksistensi hakiki.
Pola hubungan bermasyarakat juga tersentuh kehadiran teknologi, mulai pola interakasi hingga penerapan kepemimpian didalam masyarakat. Kepemimpinan berubah total, dan tidak disandarkan lagi kepada nilai-nilai kemanusian. Pola kepemimpinan seharusnya dinuansai oleh horizon humanisme, namun saat ini justru memasuki ruang dehumanisasi.
Oleh karenanya pembelajaran kepemimpinan perlu daur-ulang, ajaran kepemimpinan adiluhung dari moyang kita.
Joglo menemukan buku tentang kepemimpinan yang dikreasi dengan kemasan sederhana, namun syarat makna. Wawan Susetya kreator buku adalah seorang-orang yang berkutat dalam dunia perbukuan dan memiliki citarasa budaya Jawa dengan muatan Islamik. Buku yang dikreasi kali kini sudah melebih jari tangan plus jari kaki manusia, dan secara pelahan akan ditebarkan di altar Joglo ini. Untuk kesempatan pertama akan di kupas karyanya yang bertajuk. Kepimpinan Jawa
Detail Buku :
JUDUL : Kepemimpinan Jawa
PENULIS : Wawan Susetya
PENERBIT: Narasi. Jl. Irian Jaya D-24, Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292. Telp. [0274] 7103084.
CETAKAN: I- 2007
ISBN : 979-168-029-9
HALAMAN: 144
Buku ini syarat muatan, mulai ilmu “hasta brata” sebagai kunci sukses kepemimpinan raja-raja ketika itu, hingga sikap yang harus dijauhi sebagai seorang kesatria. “kepemipinan ala punakawan, juga dikupas tuntas dalam buku ini. Disamping itu juga dibentangkan pola kepemipinan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, serta beberapa model kepemimpinan Metafisika Ala Kiai kholil yang menurut penulis buku ini masih dalam kawasan kepemimpinan Jawa. Tentunya tidak semua yang ada didalam buku ini akan diunduh. Kurang lebih sekitar 4 pokok pikiran yang akan dibentangkan di altar ini.
Adapun yang dibentang adalah:
  1. Lima “Dharmaning Satriya’
  2. Sikap yang seharusnya di jauhi oleh seorang kasatria:
  • adigang-adigung-adiguna,
  • sifat, nistha, dusta, .....
  • “5M” Kiat pemimpin: Mulat, Milala, Miluta, Palidarma, dan Palimarma [Fokus bahasan: “bener Kang Sejati”, “ngelmu Tuwa’, “ngelmu padi”]

MENJAUHI SIKAP “ADIGANG-ADIGUNG-ADIGUNA”
Dalam buku ini dibentangkan, ketika Sri Mangkunegara IV sebagaimana dalam Serat Wulang Reh, memberikan nasihat agar para putra-wayah-nya menjauhi sikap yang sangat arogan, yakni “adigang—adigung-adiguna
Adigang: digambarkan seperti seekor kidang [rusa] yakni yang mengandalkan kebat-lumpt [kelicahannya].
Makna dalamnya, jangan mengandalkan kedudukannya sebagai putra raja, lantas merasa berbangga diri.
Adigung: digambarkan seperti liman [gajah]; yakni mengandal kekuatan tinggi dan besarnya. Jangan mengandalkan kepandaian, “di atas langit masih ada langit”
Adiguna: digambarkan seperi sawer [ular]; yakni mengandalkan bisa-nya yang beracun dan mematikan!, Jangan mengandalkan keberanian, tetapi setelah dihadapi, ternyata ia malah cengengesan [tertawa-tawa]
………Untuk mengantisipasi hal itu, Sri Mangkunegara IV juga mewanti-wanti agar orang hidup selalu berpegang pada tiga rambu-rambu, yakni rereh [sabar, mengekang diri ], ririh [tidak tergesa-gesa, pelahan-pelahan tapi pasti], ngati-ati berhati-hati

Kemudian juga ditambahkan rambu-rambu lain, yakni:
Pertama, jangan memuji diri sendiri
Kedua, jangan mencela atau memuji orang lain secara berlebihan
Ketiga, jangan terlalu mencela atau mengkritik pekerjaan orang dan janganlah sampai ngrasani[membicarakan orang lain]

SIFAT BURUK DALAM KESEHARIAN [Seno Sastroamidjojo] (1964)
Nista; yaitu, kecenderungan akan mengarah kepada perilaku menyimpang pada kawasan nilai-nilai yang rendah atau jahat
Dusta; yaitu, berwatak tak jujur, goroh, 'panjang tangan' [suka mencuri]
Dora, yaitu sofat mengingkari atau tidak menepati janji
Drengki; yaitu, suka berdengki, tamak dan cemar, suka panas hati, acuh tak acuh
Angkara murka; berwatak jahat dan cenderung menyebarkan kepada orang lain
Candhala; yaitu selalu mengingkari kejujuran dan selalu mengingkan kepunyaan orang lain; diklaim atau diakui sebagi miliknya.

“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui). Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji). Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.
Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya]. Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma [memberikan teladan/contoh]. Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma [memberikan maaf atau memaafkan]. Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.

Monday, June 23, 2008

ETIKA KEKUASAAN DALAM KEBUDAYAAN JAWA

Seorang-orang Guru Besar Institut Teknologi Bandung memberikan penilaian, bahwa kecenderungan saat ini sangat bertolak belakang dengan tempo dulu, bahkan memutar 180 derajat. Dulu rintisan untuk meniti menuju sebuah Negara kebangsaan terjadi karena perbedaan entitas justru menjadi kekuatan alias daya saing. Unity in deversity, “tan hana dharma mangrua”, berbeda-beda satu tetapi jua, “bhinneka tunggal ika”.
Kini sangat jauh berbeda, justru perbedaan dikreasi menjadi bumbu perpecahan, lewat pengaduk yang namanya kekerasan.
Jamunya adalah hadirnya etika menegara. Joglo ingin mempersembahkan sebuah buku dengan judul Neo Patriotisme, karena buku ini dipenuhi mutiara bijak yang menyelimuti etika kekuasaan.
Seorang-orang bernama HM. Nasruddin Anshory, CH berkreasi dengan mendokumentasikan pokok-pokok pikiran Jawa, yang telah berakar dan mampu menjadi teori yang agung ketika mengantar kejayaan Mojopahit. Tentunya ini sebuah cerminan untuk dapat dicermati, apakah saat ini masih memiliki relevansi.
Detil Buku
JUDUL: Neo Patriotisme—Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
PENULIS : HM.Nasruddin ANSHORIY CH
PENERBIT : PT LKIS Yogyakarta Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul. Jl. Parang Tritis Km, 4.4. Yogyakarta. Telp: [0274] 387194, 7472110. E-mail: elkis@indosat.net.id
CETAKAN: I Mei 2008
HALAMAN: xviii + 222 halaman; 21 x 14,5 cm
ISBN: 978-979-1283-670
Gajah mada mengamalkan ajaran Prabu Arjuns Sasrabahu dalam pewayangan yang merumuskan kepemimpinan yang dikenal dengan panca titi darmaning prabu atau lima kewajiban sang pemimpin, yang terdiri dari:
  1. Handayani Hanyakra Purana
    Seorang pemimpin senantiasa memberikan dorongan motivasi, dan kesempatan bagai generasi mudanya atau anggotanya untuk melangkah ke depan tanpa ragu-ragu
  2. Nadya Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya senantisa berkonsilidasi memberikan bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah untuk mufakat yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
  3. Ngarsa Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan suri teladan bagi masyarakatnya
  4. Nir bala wikara
    Seorang pemimpin tidaklah selalu menggunkan kekuatan atau kekuasaan di dalam mengalahkan musuh-musuh atau saingan politiknya, Meskipun demikian, berusaha menggunakan pendekatan pikiran, lobi sehuingga dapat menyadarkan dan disegani pesaing-peasainnya.
  5. Ngarsa dana upaya
    Pemimpin sebagai seorang ksatria senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, materi, pikiran, bahkan jiwanya sekalipun untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

KAMULYANING NERPATI CATUR
Kamulyaning Nerpati Catur adalah empat sifat utama bagi seorang pemimpin/negarawan, yaitu:

  1. Jalma Sulaksana:
    Seorang pemimpin hendaknya memiliki.menguasai ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu pengetahuan agama atau spitual secara teori dan praktik
  2. Praja sulaksana:
    Mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan/rakyat dan berusaha mengadakan perbaikan kondisi masyarakat [catur paramita: maitiri, karuna, mudita, dan upeksa]
  3. Wiya Sulaksana:
    Mempunyai keberanian untuk meneggakan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani karena benar dan takut karena salah
  4. Wibawa Sulaksana:
    Memiliki kewibawaan terhadap bawahan/rakyat sehingga setiap perintahnya dapat dilaksanakan dan program, yang direncanakan dapat terrealisasi.

Dengan permintaan maaf, joglo tetap menjujung paugeran bahwa posting tidak dapat dilakukan semua (100%), karena akan melanggar etika karya.
CATUR PRAJA WICAKSANA
Catur Praja Wicaksana adalah empat sifat dan tindakan yang bijaksa yang hendaknya dilakukan oleh seorang pemimpin negarawan, yaitu:

  1. Sama
    Selalu waspada dan siap siaga untuk menghadapi segala ancaman musuh baik yang dating dari dalam mamun dari luar yang merong-rong kewibawaan pemimpin yang sah
  2. Beda
    Memberikan perlakukan hokum/peraturan bagi bawahan/rakyat sehingga tercipta kedisiplinan dan tata tertib dalam masyarakat [penegakan supremasi hukum]
  3. Dana
    Mengutamakan sandang, pangan, pendidikan, dan papan guna menunjang kesejahteraan/kemakmuran bawahan/rakyat serta memberikan penghargaan bagi warga yang berprestasi. Memberikan upah/gaji bagi para pekerja sebagai bals jasa dari pekerjaan yang dibebankan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar dapat mencukupi kehidupan keluarga
  4. Danda
    Menghukum dengan adil kepada semua yang berbuat salah/melanggar hokum sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya

SAD GUNA UPYA

Sad Guna Upaya berarti enam macam upya luhur yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin. Ajaran ini terdapat dalam serta Niti Sastra yang memuat beberapa hal berikut:

  1. Sidi wasesa
    Pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menjalin persahabatan dengan rakyat, sesama, dan Negara tetangga
  2. Wigraha Wasesa
    Kemampuan untuk memilah-milah persoalan dan mampu untuk mempertahankan hubungan baik
  3. Wibawa Wasesa
    Pemimpin memliki kewibawaan atau disegani baik oleh rakyat, Negara tetangga, maupun musuh-musuhnya
  4. Winarya Wasesa
    Cakap dan bijak dalam mempin sehingga memuaskan semua pihak
  5. Gasraya Wasesa
    Kemampuan untuk menghadapi mmusuh yang kuat dan tangguh dengan menggunkan startegi/muslihat dalam berdeplomasi atau perang
  6. Stana Wasesa
    Dapat menjaga hubungan dan perdamaian dengan baik dan memprioritaskan tentaranya untuk menjaga kedaulatan negra dan menjaga perdamaian serta menghindari peperangan.

Masih banyak khasanah kebudayaan yang dijadikan cermin, dan tidak mungkin kami muat secara lengkap, untuk memenuhi etika joglo ini, yang tidak ingin menjadi pencundang bagi penerbit maupun penulisnya.

Kahsanah budaya itu antara lain:

  • Panca Tata Upaya [lima macam upaya yang harus dilakukan seorang birokrat dalam menyelesaikan segenap persoalan] (maya tata upaya, upeksa tata upaya, indera jala wisaya, wikrama wisaya, lokika wisaya)
  • Tri Jana Upaya [tiga macam cara/upaya bagi seorang pemimpin untuk menghubungkan atau mendekatkan dirin dengan masyarakat yang dipimpin (rupa upaya, wamsa upaya, guna upaya)
  • Ajaran Sad Guna weweka [terdapatenam macam musuh di dalam diri manusia yang harus dihilangkan dan dimusnahkan] ( kama/hawa nafsu, loba/tamak-rakus, kroda/marah, moha/kebingungan, mada/mabuk, masarya/ irihati)
  • Sad paramuka [prinsip kesucian Gajah Mada, dalam melihat perilaku enam pembunuhan yang kejam] ( Agnida /suka membakar milik orang lain, wisada/suka meracun, atarwa/menggunkan ilmu hitam, sastraghna/mengamuk, dratikrama/suka memperkosa, raja pisuna /suka menfitnah)

Warto Selaras

Google