
Pemahaman yang keliru kini justru marak, dan secara tidak terasa telah mendarah daging, misalnya seorang-orang mengartikan modernitas. Kini makna modernitas telah dijadikan jargon untuk mengganti sesuatu yang dianggap "lama", maka modernitas cenderung dipakai untuk menggilas apa saja yang dianggap lama. Tradisi yang tumbuh di masa lalu, termasuk nilai-nilai budaya yang telah lama ada, tanpa ampun tergilas oleh kesalahan memaknai nilai modernitas. Kekeliruan pemaknaan itu sekaligus memberikan stigma negatif kepada siapa saja yang tetap mempertahankan nilai tradisi dan budaya. Indikasi fisik telah menunjukkan kepada kita, bahwa bentuk bangunan rumah yang ada di Jawa, juga terinfeksi oleh pemaknaan itu. Kini bentuk bangunan rumah Jawa sulit diketemukan, apakah bentuk Joglo, atau pun limas, telah terlibas. Dulu di daerah pedesaan, jenis rumah Jawa seperti Joglo, dan limasan, masih bertebaran, kini yang kita jumpai justru berbalik. Rumah dengan model/ornamen bergaya Spanyol, Amerika, atau Eropa, sangat mewarna, dan orang merasa sangat ketinggalan, atau mungkin disebut kurang gaul, jika mempertahankan bentuk rumah yang mentradisi.
Perilaku orangpun juga berubah secara dratis, kini orang telah meninggalkan tardisinya, dan kini juga kehilangan karakternya. Tradisi adat Jawa-seperti selapan, atau tedhak siten pada upacara kelahiran, siraman atau midodareni pada upacara perkawinan, atau pendhak sepisan, nyewu pada upacara kematian--sudah mulai banyak ditinggalkan atau dilupakan.
Seorang-orang bernama H. Soemarno Soedarsono dalam sebuah kolom opini Harian Kompas yang berjudul Jati diri Bangsa yang menyoroti konsep jati diri dari perspektif etika moral, yaitu hati nurani. Soedarsono menulis kata-kata bijak untuk menekankan tentang bahaya hilangnya jati diri ini. "When character is lost, everything is lost".
Kata bijak ini ternyata merupakan energi bagi tiga orang wanita yang membidani lahirnya buku ini. Masing-masing; Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini MBA,- Ir.M.I. Retno Susilorini, MT- dan Yovita Indrayati, SH.,M.Hum. Ketiganya adalah pengabdi pada Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Keprihatinannya melihat realitas bias dalam budaya bangsa, menggetarkan naluri tulis menulis, maka melalui pencermatannya dengan merefleksikanbudaya Jawa-meneropong retak-ratak buadaya. Dengan cermat, ketiga wanita ini menengarai, bahwa budaya Jawa mulai ditinggalkan. Keprihatinan ini nampaknya cukup beralasan, karena indikasinya nampak jelas.
Indikasi itu adalah:
Data buku:
JUDUL: Cermin Retak Budaya Bangsa--Sebuah refleksi dengan pendekatan budaya jawa
PENULIS: Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini = Ir. M.I. Retno Susilorini, MT. = Yovita Indrayati, SH., M.Hum
PENERBIT: Universitas Atma jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari No. 44. Kotakl Pos 1086. Telp. 0274-487711. Yogyakarta 55281
ISBN: 979-9243-79-3
CETAKAN: Pertama 2007
Butir-butir Budaya Jawa yang diwujudkan dalam pituduh misalnya:
Tuhan itu ada di mana-mana, juga ada pada dirimu, tapi jangan engkau berani mengaku Tuhan
Tuhan itu jauh tanpa ada batasnya, dan dekat sekali tapi tidak dapat bersentuhan
Tuhan menciptkan engkau itu melalui ibumu. Oleh karena itu hormatilah ibumu
Barang sipa suka berbuat kebajikan dan ikhlas melakukan tapa brata [tirakat], akan menerima anugerah dari Tuhan
Barang sipa mengakui adanya Tuhan, tergolong yang sempurna hidupnya
BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEROKHANIAN”
Terjadinya dirimu itu melalui adanya Ibu-bapakmu
Adalah Guru sejati yang dapat menunjukkan mana makhluk halus yang menolong dan mana yang mencelakakan
Cakra manggilingan [hidup itu bagaikan roda yang terus berputar]
Jaman itu serba berubah
Tuhan itu berada dalam hati manusia yang suci, karenaya Tuhan disebut pula sebagai hati yang suci
Pertemuan dengan Tuhan terjadi bila dirimu selalau ingat kepada-Nya
Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh karena itu jangan mengagung-agungkan kekayaan dan derjatmu, sebab bila sewaktu-waktu terjadi perubahan keadaan Anda tidak akan menderita aib
Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu jangan melupakan sesamamu
Barang siapa suka merusak ketenteraman orang lain akan mendapat murka Tuhan, dan akan digugat karena ulahnya sendiri
Tuhan itu berada pada dirimu, danb pertemuan dengan Tuhan akan terjadi apabila engkau selalu ingat kepada-Nya
BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEMANUSIAAN”
Banyak berkarya, tanpa menuntut balas jasa, menyelamatkan kesejahteraan dunia
Manusia sekedar menjalani, diibaratkan laksana wayang
Hati seci mengarah ke keselamatan
Pengetahuan yang benar membuat hati kita senang
Berusaha berbuat baik dengan budi yang sentosa
Kalau ingin selamat (berhasil) harus ada biayanya [pengorbanan]
Baik buruk ada pada diri kita sendiri
Barang siapa lupa akan kebajikan orang lain itu seperti berwatak binatang
Ciri-ciri orang luhur, ialah tingkah laku dan budi bahasa yang halus, keikhlasan hati, dan sedia berkorban, tanpa mendahulukan kepentingan pribadi
Harga diri terletak pada mulut dan budi
BUTIR-BUTIR YANG MENCERMATI “KEBANGSAAN”
Bangsa itu sebagai sarana untuk kuatanya suatu Negara, oleh karena itu jangan mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatriya
Yang baik itu kalau mengerti akan hidup bermasyarakat dan bernegara, maka di depan memberi teladan, di tengah menjadi penggerak, di belakang memberi daya kekuatan
Negara itu dapat tenteram kalau murah sandang pangan, sebab rakyatnya gemar bekerja, dan ada penguasa yang mempunyai sidat badil dan berjiwa mulia
Prajurit yang mencintai rakyat jelata, akan disayangi rakyat dalam Negara itu, dan membuat kokohnya Negara dan menjadi perisai negara
Penguasa itu harus membuat tenteram rakyatnya, kalau tidak dapat terjadi rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam Negara itu
Jaman penderitaan rakyat akan hilang kalau sudah ada orang yang dapat menghilangkan hal-hal yang menyulitkan
Orang sering mencirikan budaya Jawa itu penuh toleran dan akomodatif, oleh karenanya Jawa tidak pernah memiliki sikap yang serta merta menolak, namun lebih dari itu, segalam sikap akan melalui proses pengedapan. Termasuk pula dalam aspek kehidupan religius. Jawa sangat erat dengan “sinkretisme” yakni pola laku mengkombinasikan sebuah keyakinan. Oleh karenanya ditengarai bahwa pandangan budaya Jawa itu selalu ditandai hal-hal berikut:
Akhir seorang-orang bernama Suyamto, Insinyur yang saat itu sebgai Ketua Umum Yayasan Jatidiri, menuangkan gagasannya setelah melewati penghayatan apa yang dilihat dan didengar, terkait dengan budaya Jawa. Gagasan ini, kini telah menjadi buku, dengan mengmbil judul Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Sesunggah nya gasaan awal ini berawal dari sebuah permohonan ceramah di hadapan 2000 anggota PERMADANI—[Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia] yang sedang memperingati hari ulang tahun kedelapan [sewindu].
Buku ini adalah rekaman perenungan tenteng berbagai aspek kebudayaan Jawa, sebagai tindak lanjut tanggapan-tanggapan atas makalah pada Konggres Kebudayaan Nasional di Jakarta, tanggal 29 Oktober sampai 3 Nopember 1991, terutama mengenai “tantularisme” dan kaitannya dengan sikretisme Jawa.
Data Buku:JUDUL: Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa
PENULIS : Sujamto, Ir
PENERBIT : Dahara Prize. Jl. Dorang 7 Phone 23518 Semarang.
CETAKAN : II Edisi revisi Nopember 1992
TEBAL : 127 Hlm
Gagasan awal buku ini, ingin melihat lebih dalam tentang pola laku itu, bahkan mengejawantahkan terminologi baru paham Jawa yang dirasa lebih tepat, yakni “Tantularisme”. Orang tentunya akan dingatkan oleh pemikiran ini karena “Tantular” adalah seorang-orang empu yang memiliki ketajaman pikir dan kearifan.
Buku ini membedakan, antara “tantularisme” dan "sikretisme Jawa", kendatipun memiliki kedekatan
Kita ketuhui saat ini penggunaan terminology sikretisme dalam ranah budaya Jawa, sangat deras. Namun acapkali memiliki multi tafsir. Mulai dari istilah ‘Sinkretisme”, “sinkretisme agama”, atau “sikretisme Jawa” untuk menunjukkan gejala atau kecenderungan yang menonjol dalam religiositas Jawa. Sisi lain istilahn ini sebagai penggantinya dipadankan dengan “mosaic” , “Coalition”, “the religion of Java” atau “agama di Jawa, atau sekedar istilah “percampuran” atau “vermenging” atau “agami Jawi"
SINKRETISME:Jika merujuk istilah-istilah yang sedang berkembang terkait dengan sinkretisme, seperti vermenging, blending, mosaic, amalgamation dan lain-lain itu jelas lebih berkonotasi pada proses dan bentuk ketimbang pada semangat yang mendasari proses itu. Sinkretisme memang dapat kita pandang dari segi proses dan bentuk. Tetapi sinkretisme adalah juga semangat. Dan terhadap gejala yang terjadi dalam religiositas Jawa ini, barangkali kita akan memperoleh gambaran yang lebih mendekati kenyataan kalau kita melihatnya dari semangat. Dilihat dari segi ini, akan sangat jelas bahwa semangat yang ada dalam religiositas Jawa itu yang menonjol bukanlah semangat sikretisme. Bukan semangat untuk membentuk sesuatu aliran atau system kepercayaan ataupun agama yang ada. Semangat yang amat menonjol adalah toleransi yang hampir-hampir tanpa batas, yang dilandasi oleh kayakinan orang Jawa pada umumnya bahwa “sedayaagami punika sami” [semua agama itu baik]
TANTULARISME:
Arus utama yang cukup menonjol sejak zaman dahulu adalah semangat yang menghormati semuaagama, semangat yang tidak memandang hanya agama dan kepercayaan sendiri yang benar, semangat yang bersedia mengakui kebenaran hakiki, dari mana pun sumbernya, emangat yanag memandang agama lain hanya merupakan jalan lain menuju tujuan yang sama, semangat yang tercakup dalam ungkapan Empu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Semangat ini, untuk menghormati Empu Tantular, dinamakan Tantularisme
PERBEDAAN TANTULARISME DAN SINKRETISME
Melihat perbedaan tantularisme dengan sikretisme hanya dari proses atau wujud gejalanya, barangkali memang agak sulit. Persamaan dan perbedaan antara sikretisme dengan tantularisme pernah dibedakan oleh penulis buku ini, dengan ungkapan bahasa jawa:
“yen dinulu mirip rupane, lamun ginigit beda rasane” [kalau dilihat mirip rupanya, kalau digigt beda rasanya]
Dilihat sepintas dari luar, wujudnya sering mirip, tetapi kalu dihayati seksama dari dalam, akan nyata bedanya. Pokok-pokok perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
VISI :
Paguyuban “Cahya Buwana”
“Mamemayu Hayuning Bawana, yaitu Mewujudkan Keselarasan Alam Semesta dan Mempertahankan Keindahannya”
MISI:
Paguyuban “Cahya Buwana”
Kegiatan ritual Paguyuban “Cahya Buwana” meliputi:
Buku ini juga membahas detil siapakah sebenarnya, Kaki Semar itu ? Dalam posting tidak diungkap secara lengkap, sebagai penghargaan karya penulisnya. Namun untuk piwulangnya dipaparkan sebagai berikut:
PIWULANG DAN DHAWUH-DHAWUHSecara bersamaan juga diposting di blog Bandar Kata Bijak, karena memiliki resonansi maksud yang sama]
Aja dumeh
Artinya: “jangan sok atau mentang-mentang”,
Terjemahan bebsanya adalah jangan suka memamerkan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina orang lain. Misalnya : aja dumeh sugih [jangan mentang-mentang kaya], dan menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang [ tidak dimiliki lagi]
Aja nggege mangsa
Artinya:”jangan memaksakan waktu”
Jangan memaksa memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak akan memuaskan. Misalnya, untuk mmendapatkan mangga yang manis perlu menunggu satu tahun. Apabila memetiknya kurang dari satu tahun pasti rasanya kecut [masam]
Aja ngomong waton, nanging ngomongo nganggo waton
Artinya: “jangan berbicara asal bicara, tetapi bicarah menggunkan landasan yang jelas.” Peringatan atau nasihat agar di dalam berbicara [berkomunikasi] perlu menggunkan tata-krama yang baik. Juga harus jelas apa yang akan disampaikan dan cara penyampaiannya supaya tidak menimpulkan salah faham bagi yang diajak bicara
Ana sethithik dipangan sethithik
Artinya::ada sedikit dimkan sedikit”
Salah satu semboyan wong cilik Jawa yang sangatv terkenal dalam menjalani tirakat [ascestisme] dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, missal sehari punya penghasilan seribu rupiah yang dipakai untuk hidup maksimal harus sembilan ratus rupiah. Dengan demikian, untuk bekal hidup esok hari amasih punya seratus rupiah
Becik ketitik, ala ketara
Artinya:”siapa berbuat baik akan terbukti [diakui], siapa berbuat buruk akan kelihatan sendiri”. Anjuran agar siapa pun jangan takut berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.
Bener luput, ala becik, begja cilaka. Mung saking badan priyangga
Artinya: “bener salah, baik buru, beruntung celaka, berasal dari badan sendiri.”Salah satu inti dari ajaran kejawen yang menyatakan bahwa apa yang diperoleh seorang –orang lebih merupakan hasil [kausalitas] dari perbuatannya sendiri; bukan semata-mata akibat [pengaruh] perbuatan orang lain.
[Wusana kata: Masih banyak unen-unen di buku ini kurang lebih 141 unen-unen, oleh karenanya layak buku ini sebagai pundi-pundi khasanah Jawa]
[Dalam posting ini tidak mungkin kami ungkap seluruhnya, misalnya bentuk-bentuk rumah Jawa, Falsafah Tri Hita Karana, Gradasi rumah dan Preferensinya]
MENJAUHI SIKAP “ADIGANG-ADIGUNG-ADIGUNA”
Dalam buku ini dibentangkan, ketika Sri Mangkunegara IV sebagaimana dalam Serat Wulang Reh, memberikan nasihat agar para putra-wayah-nya menjauhi sikap yang sangat arogan, yakni “adigang—adigung-adiguna”
Adigang: digambarkan seperti seekor kidang [rusa] yakni yang mengandalkan kebat-lumpt [kelicahannya].
Makna dalamnya, jangan mengandalkan kedudukannya sebagai putra raja, lantas merasa berbangga diri.
Adigung: digambarkan seperti liman [gajah]; yakni mengandal kekuatan tinggi dan besarnya. Jangan mengandalkan kepandaian, “di atas langit masih ada langit”
Adiguna: digambarkan seperi sawer [ular]; yakni mengandalkan bisa-nya yang beracun dan mematikan!, Jangan mengandalkan keberanian, tetapi setelah dihadapi, ternyata ia malah cengengesan [tertawa-tawa]
………Untuk mengantisipasi hal itu, Sri Mangkunegara IV juga mewanti-wanti agar orang hidup selalu berpegang pada tiga rambu-rambu, yakni rereh [sabar, mengekang diri ], ririh [tidak tergesa-gesa, pelahan-pelahan tapi pasti], ngati-ati berhati-hati
Kemudian juga ditambahkan rambu-rambu lain, yakni:
Pertama, jangan memuji diri sendiri
Kedua, jangan mencela atau memuji orang lain secara berlebihan
Ketiga, jangan terlalu mencela atau mengkritik pekerjaan orang dan janganlah sampai ngrasani[membicarakan orang lain]
SIFAT BURUK DALAM KESEHARIAN [Seno Sastroamidjojo] (1964)
Nista; yaitu, kecenderungan akan mengarah kepada perilaku menyimpang pada kawasan nilai-nilai yang rendah atau jahat
Dusta; yaitu, berwatak tak jujur, goroh, 'panjang tangan' [suka mencuri]
Dora, yaitu sofat mengingkari atau tidak menepati janji
Drengki; yaitu, suka berdengki, tamak dan cemar, suka panas hati, acuh tak acuh
Angkara murka; berwatak jahat dan cenderung menyebarkan kepada orang lain
Candhala; yaitu selalu mengingkari kejujuran dan selalu mengingkan kepunyaan orang lain; diklaim atau diakui sebagi miliknya.
“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui). Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji). Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.
Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya]. Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma [memberikan teladan/contoh]. Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma [memberikan maaf atau memaafkan]. Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.
KAMULYANING NERPATI CATUR
Kamulyaning Nerpati Catur adalah empat sifat utama bagi seorang pemimpin/negarawan, yaitu:
Dengan permintaan maaf, joglo tetap menjujung paugeran bahwa posting tidak dapat dilakukan semua (100%), karena akan melanggar etika karya.
CATUR PRAJA WICAKSANA
Catur Praja Wicaksana adalah empat sifat dan tindakan yang bijaksa yang hendaknya dilakukan oleh seorang pemimpin negarawan, yaitu:
SAD GUNA UPYA
Sad Guna Upaya berarti enam macam upya luhur yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin. Ajaran ini terdapat dalam serta Niti Sastra yang memuat beberapa hal berikut:
Masih banyak khasanah kebudayaan yang dijadikan cermin, dan tidak mungkin kami muat secara lengkap, untuk memenuhi etika joglo ini, yang tidak ingin menjadi pencundang bagi penerbit maupun penulisnya.
Kahsanah budaya itu antara lain:
Untuk kali ini Joglo mengetengahkan Buku Konsep Kepimpinan Jawa, yang merupakan hasil penelitian, Dra. Suyani, M.Hum. Karya tersebut dikemas dalam bentuk buku saku, dengan Editor Salamun.
Dalam tesis Suyami, penjilat diuraikan sebagai berikut:
Ciri-ciri seorang penjilat adalah orang yang merasa menjadi kepercayaan raja, yaitu orang yang merasa hanya dirinyalah yang paling dekat dan dipercaya raja. Lupa pada kenyataan bahwa raja itu milik orang banyak.
Teks Ajaran Sastra Cetha terdapat dalam Pupuh V MIJIL, dan Pupuh VI DHANDHANGGULA
ASTHA BRATA:
Kata astha brata artinya delapan macam kebajikan. Ajaran tersebut diberikan oleh Rama kepada Wibisana pada saat akan diangkat menjadi raja kerajaan Alengka menggantikan kakandanya, yaitu Prabu Rahwana. Di sini Wibisana disuruh melindungi dan memulihkan kesejahteraan Kerajaan Alengka yang telah hancur karena perbuatan prabu Rahwana.
Teks Ajaran Asta Brata terdapat dalam Pupuh LXXVII PANGKUR, Dan Pupuh LXXVIII Mijil.
Dalam menjalankan pemerintahan di Kerajaan alengka tersebut Wibisana dinasehatkan agar mencotoh kebajikan delapan dewa, yaitu Dewa Indra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kuwera, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama.
DEWA INDRA :
Ia mempunyai sifat perwatakan pengasih, penyayang, dan cinta kepada seni keindahan. Apabila “tiwikrama” [berubah wujud] ia mempunyai perbawa halilintar. Ia seringkali diutus untuk memberikan pahala kepada seorang-orang yang mendapat anugerah. [hlm:171]
DEWA SURYA
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Surya sangat baik budi pekertinya. Dalam segala perintahnya selalu menyenagkan. Selalu berusaha menyejukkan perasaan warga warga. Dalam memerintah tidak pernah mengutamakan dan menggunakan kekerasan, melainkan sangat halus dan selalu memahmi keinginan warga sehingga para warga tidak terasa kalau dibawa ke arah kebaikan. Dia tidak pernah marah juga tidak pernah tergesa-gesa. Dia bisa mempengaruhi hati musush dengan tanpa rasa.
DEWA BAYU
Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Bayu selalu berusaha mengintai mengethui jalan pikiran setiap orang. Usahanya dilakukan tanpa tyerlihat, ibarat tanpa jarak tanpa pertanda. Semua tingkah laku dan gerak gerik setiap orang, baik yang jahat maupunyang berhati mulia dapat diketahui. Ia selalu bisa memahami dan menghayati hati paran warganya.Kebutuhan warga selalu dipenuhi sehingga dalam pemerintahan dapat menyenangkan semua orang.
DEWA KUWERA
Bethara Kuwera sangat bakti kepada perikemanusiaan. Ia seringkali memberi petunjuk, fatwa, pahala, dan perl.indungan serta pertolongan kepada umat di arcapada [dunia]. Dalam asta brata disebutkan sifat Bathara Kuwera senantiasa memberikan kesenangan, baik dalam hal makan maupun kesenangan yang lainnya. Dia memegang teguh kebenaran. Dia selalau mengajarkan tentang kemuliaan dan selalu mempelajari kepribadian yang benar. [hlm:121]
DEWA BARUNA
Dalam, asta brata disebutkan sifatnya yang senantiasa mengenakan senjata. Dia bisa mengusahakan keselamatan dengan berpegang pada kata hati. Semua masalah dipandang dengan penuh hati-hati, serta semua ilmu dan kepandaian berusaha dipelajari. Dia sangat tidak suka, sedih, dan jijik jika melihat tindak asusila dan kejahatan. Oleh karena itu dia selalu berusaha menguasai semua orang yang berbuat jahat untuk diupayakan agar berubah menjadi orang baik-baik.
DEWA YAMA
Dalam asta brta disebutjkan sufat Bathara Yana memberantas semua perbuatan jahat, menghancurkan semua orang yang berbuat jahat di kerajaan. Tidak menghiraukan sanak saudara, apabila jahat tetap dimusnahkan. Semua perbuatan yang tidak baik dicari dan diporak porandakan. Dalam menjaga kerajaan agar sejahtera diusahakan dengan memberantas tuntas semua tindak kejahatan.
DEWA CANDRA
Bersifat pemaaf. Agar seisi kerajaan merasa enak, dalam memrintah selalu dengan perkataan yang harus dan manis. Roman mekanya selalu penuh kelembutan. Dalam segala tindakannya selalu menyenangkan. Dia berisaha memlihara dunia dengan hanya memerintahkan yang baik. Tulus rendah hati. [hlm: 124]
DEWA BRAMA:
Bhatar Brama selalu berusaha mencarikan makan untuk seluruh lapisan rakyat, agar semua warga mencitai negaranya. Bathara Brama bisa mengerti dan memahami kemampuan rakyatnya dan dapat bekerjasama dengan rakyat untuk menghadapi musuh. [hlm: 125]
KONSEP KEPEMIMPINAN YANG RESIPROKAL
Tesis ini mencermati bahwa konsep kepemimpinan Jawa, sejak lama memiliki pola yang “resiprokal” atau hubungan timbal balik yang mesra antara pemimpin dan yang dipimpin.
Resiprokal itu saling memberi, saling menerima.
Dalam sastra cetha disebutkan bahwa kedudukan raja dan prajurit adalah ibarat singa dan hutan. Bala tentara ibarat hutan, sedangkan rajanya ibarat singa. Keselamatan singa bisa terjaga manakala hutannya lebat. Inilah yang dapat disimbolkan sebagai makna “saling”.
PERANAN DAN KEDUDUKAN RAJA BAGI NEGARA DAN RAKYAT.
Dalam buku ini digambarkan bahwa kedudukan raja pada rakyat meliputi:
Dalam buku ini juga menguraikan tentang:
Peranan dan kedudukan negara bagi raja dan rakyatanya, serta peranan dan kedudukan rakyat bagi negara dan negaranya. Di sinilah yang menampakkan bahwa komponen negara, raja dan rakyat memilki hubungan yang resiprokal.
[Wusana kata: Model kepemimpinan yang mengedepankan keseimbangan [ ] merupakan sebuah model yang di junjung tinggi di tanah Jawa. Sebuah kerajaan akan tercipta dan memiliki perjalanan sejarah yang sejahtera “tata tentrem kerta raharja”, manakala seorang raja mampu memegang teguh keseimbangan, dan mengkondisikan pada rakyatnya. Dalam mengembangkan ajaran kepemimpinan selau dikemas dalam wadah seni”art”, dan simbol-simbol yang indah,dan kadang puitis. Dalam memberikan ajaran biasanya dilakukan dalam suasana yang kondusif, dalam beberapa hal dicontohkan fragmen bentuk kepemimpinan melalui ceritera pewayangan. Harjuno Sosrobahu, adalah fragmen yang menggambarkan ajaran kepemipinan. Untuk mendalam konsep kepemimpinan Jawa ini, Joglo masih memiliki literature lainhnya, dan akan di Posting kemudian.
Orang Jawa hakikatnya suka membungkus ilmu pengetahuan dengan simbul-simbul, bahkan cenderung berlapis-lapis. Hanya seorang-orang yang “waskita” [kecermatannya tinggi], mampu menerjemahkan maksud yang tersirat, atau dengan kata lain “tahu apa yang sebenarnya tersimpan”. Contoh konkret ketika orang Jawa memberikan nama kepada anaknya, dalam nama tersebut terkandung pengertian dan harapan, yang berjuta makna. Bahkan nama wilayah, tempat patilasan/situs-situs, bangunan/landmark, atau nama-nama benda pusaka.
Dari dimensi sosiologis, makna nama wilayah, tempat patilasan/situs-situs, bangunan/landmark, atau nama-nama benda pusaka, nama desa, nama kota, tersebut dapat diterjemahakan.
Biasanya simbol-simbol tersebut diwujudkan dalam kalimat indah atau kalimat puitis, filosopis. Kerap disebut symbol yang sarat dengan keindahan puitis, dan keindahan filosofis.Inilah yang membangkitkan saya untuk membuka blog, yang kami beri nama JOGLO-JAVANOLOGI.
Tentunya ada maksud terselubung, disamping membuka blog, ingin menciptakan ruang dialog, sehingga memperoleh manfaat, serta menyerap khasanah yang luar biasa. Ada sesuatu yang harus kami kedepankan, bahwa kami sangat awan terhadap hal-hal yang terkait Javanologi. Oleh karena yang saya paparkan hanyalah berupa pengulangan informasi. Misalnya info dari buku-buku, atau dialog-dialog dengan sesepuh, atau orang yang pinilih dan waskita.
SESANTI blog ini adalah Sura Dira Jayaningrat, lebur dinimg pangastuti